Antara loudspeaker dan “peurayeuk su”

loudspeaker

By Ulies Ace

Beberapa hari yang lalu sebuah stasiun televisi swasta nasional menayangkan film TAKEN, sebuah film action Prancis yang dibintangi aktor Irlandia Liam Neeson. Film produksi tahun 2008 ini menceritakan kisah anak perempuan dari seorang mantan agen CIA (Neeson) yang diculik komplotan penjahat Albania untuk dijadikan pelacur. Tentu di dalam artikel ini saya tidak akan membicarakan dan membahas lebih lanjut mengenai jalan cerita film yang seru ini.

Ada yang menarik perhatian ketika membaca sub-title film ini ketika adegan Liam Neeson membesarkan suara handphone-nya melalui loudspeaker, lawan bicaranya yang seorang agen CIA bertanya: “Apakah kau menggunakan pelantang?”

Wow, penterjemah film ini menggunakan istilah “pelantang”, suatu istilah yang sedikit “asing” bagiku, mengingat selama bertahun-tahun terbiasa menggunakan istilah asli loudspeaker, dan juga istilah “pengeras suara” yang lazim dipakai selama ini. Tergerak jari jemariku mengetikkan  kata pelantang di mesin pencari google untuk mencari tahu sejak kapan kata pelantang ini dipakai, dan ternyata terdapat ribuan artikel yang menggunakan istilah pelantang sebagai pengganti kata loudspeaker dan MICROPHONE! Bahkan ada beberapa forum yang membahas khusus istilah pelantang ini.

Namun sayangnya, dari hasil pencarian ini tidak didapat kesimpulan mengenai kapan pertama kali kata pelantang digunakan untuk mengartikan Loudspeaker atau microphone.

Bahasa Indonesia yang merupakan salah satu bahasa baru (baru muncul pada tahun 1928, dengan akar Bahasa Melayu) tentunya sangat dinamis dan mengalami perubahan terus-menerus. Ada ribuan kata yang diserap dari bahasa Asing sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Tentunya sejalan dengan pesatnya perkembangan teknologi dan komunikasi, istilah-istilah baru pasti akan terus bermunculan. Demikian juga dengan bahasa-bahasa daerah lain seperti Bahasa Aceh.

***

Esoknya, ketika duduk di warung kopi Taufik di samping Gereja Methodist Jalan Pocut Baren, aku berdiskusi dengan seorang temanku yang juga seorang akademisi di sebuah perguruan  swasta ternama di Banda Aceh. Dia berpendapat bahwa sebuah bahasa akan terus-menerus mengalami perubahan, karena sifat manusia yang selalu dinamis dan cenderung untuk selalu menggali sesuatu yang baru. Contohnya  di bidang teknologi informasi, yang selalu hadir dengan inovasi baru dan … istilah-istilah baru!

Selama bisa dimengerti oleh orang awam, maka tidak akan ada masalah menggunakan istilah asli dalam bahasa asing ataupun istilah serapan dalam bahasa Indonesia. Di dalam dunia teknis dan akademis, agar tidak membingungkan tetap digunakan istilah seperti aslinya. Bahkan di dalam dunia medis, para praktisi dan akademisi terus menggunakan istilah-istilah medis di dalam bahasa Latin untuk berkomunikasi dengan rekan sejawatnya.

****

Bagaimana dengan dunia musik?

Dunia musik tentunya bisa digolongkan di dalam bidang teknik juga, karena berhubungan dengan peralatan dan penciptaan/inovasi. Banyak istilah musik yang digunakan adalah serapan dari bahasa asing seperti Latin, Italia, Inggris, Portugis dan Arab. Banyak istilah musik tersebut sekarang mempunyai padanannya di dalam bahasa Indonesia. Tentu saja selama tidak membingungkan, sah-sah saja menggunakan istilah musik dari bahasa manapun.

Tetapi seorang temanku, gitaris dan pengusaha sukses, sebut saja namanya Iwan Kadal (37), mengatakan karena dunia musik sekarang sudah tanpa batasan geografi lagi, dan sudah sangat universal, sebaiknya musisi Aceh tidak hanya menggunakan istilah yang sudah diartikan ke dalam bahasa Indonesia saja, tetapi harus tahu juga istilah aslinya.

Sejak dunia sosial media berkembang dengan pesat dan menjadi hal yang lazim, hari ini seorang musikus Aceh dengan mudah berkomunikasi musikus lainnya dari segala penjuru dunia. Bisa saja seorang Olenk Myung (bukan nama sebenarnya) dari Aceh “chatting” dengan Synsyter Gates (juga buka nama sebenarnya) dari Amerika dan berdiskusi mengenai loudspeaker. Dikhawatirkan Synyster tidak akan mengerti kalau Olenk menggunakan istilah pelantang atau pengeras suara, dan pasti akan terjadi semacam miskomunikasi yang disebabkan oleh language barrier.

Jadi, menurutku dan kedua teman diskusiku: terserah saja mau menggunakan istilah musik di dalam bahasa apapun, selama tahu nama asli di dalam bahasa asalnya, dan dimengerti oleh orang lain.

“…terserah saja mau menggunakan istilah musik di dalam bahasa apapun, selama tahu nama asli di dalam bahasa asalnya, dan dimengerti oleh orang lain…”

By the way, menurutmu, Loudspeaker kalau diartikan ke dalam bahasa Aceh kira-kira akan menjadi apa ya? Aku mengusulkan kita menggunakan istilah “peurayeuk su” saja. Sepertinya asik juga kalau musisi Aceh menyebut istilah-istilah musik dengan bahasa Aceh? Mengutip pernyataan Iwan Kadal: “Apa aja boleh, asal tanggung jawab.”

Apa ide kamu?

Facebook Comments

2 thoughts on “Antara loudspeaker dan “peurayeuk su”

  • January 22, 2014 at 5:44 pm
    Permalink

    ahahahahaha kalo sesama musisi sama2 org aceh ngga masalah sih! yg repot kalo beda daerah ahahahaha mumang nteuk! asik bacaanya ringan tp menarik!

    Reply

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: