Hakim Seni: “Manusia ½ Dewa”

judge bao
Ilustrasi: Judge Bao (source: wuxiaedge.com)

Oleh Anton Sabang*

Wacana Filosofi seorang “hakim” bertitel lomba, memberi peran dan fungsi penting setiap kompetisi. Hakim dituntut untuk mampu menghayati, mengamati, menilai dan memutuskan tingkat kedalaman dan keluasan kualitas karya seni yang disajikan. Hakim diharapkan mampu menginterpretasi simbol dan makna filosofis dalam sistem kebudayaan yang direpresentasikan melalui komposisi yang kompleks dan beragam. Sebagai seorang apresiator yang handal: cerdas dan kritis, tidak terlepas dari subyektifitas dan obyektifitas kecermelangan suatu karya seni yang diamati Menilai kualitas estetik dengan berbagai kompleksitas “isi dan bentuk” dalam susunan konstruksi estetik – setidaknya hakim dituntut memiliki suatu perangkat keilmuan dan pengalaman yang memadai sekaligus teruji. Sehingga fungsinya yang majemuk mampu menyerap dengan baik dan benar berbagai kualitas nilai dan pesan karya – citra estetik yang dilahirkan oleh seorang seniman, dan akhirnya mampu memutuskan “pemenang” yang sesuai dengan kriteria lomba yang telah digagas dan disepakati.

“…hakim dituntut memiliki suatu perangkat keilmuan dan pengalaman yang memadai sekaligus teruji..”

 Lebih lanjut, hakim diharapkan dapat mentransformasikan nilai-nilai estetik sejauh pengalaman/ proses penggarapan seorang seniman, dengan wawasan pengetahuan yang pernah didapat dan dialami. Seorang hakim juga merupakan sosok yang berperan aktif terhadap obyek (karya seni) yang diamati, juga merupakan subyek yang mampu menghayati atau mempersepsikan karya seni secara terbuka (jujur dan bertanggung jawab). Selain itu hakim dituntut mampu menggabungkan dua kutub ukuran: subyek dan obyek, bersilang kait ketika menyerap citra estetik (intrinsit dan ekstrinsit) suatu karya seni. Memadukan ke-dua kutub penilain yang semestinya berimbang tanpa keberpihakan, atau selaras dengan persepsi emosi dan nalar logika argumen yang dimilikinya.

“…hakim dituntut mampu menggabungkan dua kutub ukuran: subyek dan obyek…”

Setiap orang mampu memberi menilai karya seni yang dilihat, didengar dan diamati, tetapi tidak banyak orang yang mampu menjelaskan dengan rinci dan akurat terhadap muatan “isi dan bentuk” hasil serapan yang dihayati. Pendekatan metode subyektifitas terhadap karya seni tidak dilarang, tetapi memiliki kelemahan. Subyektifitas bertumpu dan bertolak oleh pengaguman intuisi subyek – emosi penganut paham relatifisme. Begitu sebaliknya: dalam menilai dan menilai karya seni dengan hanya menggunakan pendekatan rasionalisme (nalar atau logika) cenderung kurang tepat, tidak relevan dan tidak coherent terhadap keluasan tafsiran metafisik (emosi dan imajinasi) terhadap karya seni. Penggunaan pendekatan yang berpretensi pada nalar atau logika semata hanya sering menghalangi persepsi emosi dan imajinasi yang merupakan elemen esensial dalam karya seni.

Pengalaman adalah guru yang baik bahkan memiliki makna kebenaran yang mutlak bagi sebagai orang. Walau pun diktum ini terbuka untuk bernegoisasi oleh sekelompok orang yang memegang kukuh “paham rasionalitas – eksistensialisme”. Oleh sebab itu hakim semestinya menjauh dari paham absolutis yang menganggap ada suatu standar/ kriteria seni yang mutlak dan dapat digunakan untuk menilai “baik dan buruk” suatu karya seni. Hal ini disebabkan oleh sifat karya seni yang memiliki keunikan, kompleksitas, selaras dan memiliki karakter/ watak estetik tertentu dalam elemen-elemen dasar seperti: ruang, waktu dan dinamika, sesuai dengan konteks konsepsi lokalitas dan universal. Setiap karya seni merupakan hasil oleh pikir dan rasa yang dibentuk dan dipengaruhi oleh latar budaya yang berbeda, saling pengaruh dan mempengaruhi terhadap bentuk dan isi, hibrit terhadap dinamika sosial, agama, sistem politik dan ekonomi yang bergulir dan bergerak masuk dan ke luar struktur komposisi.

Proses mewujudkan karya seni merupakan kerja-kerja mengatur, merangkai dan dipadukan sesuai pengalaman sejarah baik komunal dan personal yang tentunya berbeda dari sebelumnya. Lebih tegas: suatu karya seni tidak bisa menghindar dari latar budaya, nilai hidup yang dianut masyarakat (tradisi) tertentu, konsep estetik, dan kemampuan kreatif individu seorang kreator – seniman dan pelaku seni.

Hakim seni adalah suatu profesi yang tidak semua orang dapat miiliki, resiko ini terlalu berat untuk dipikul – akhirnya tidak semua orang selalu tekun dan terus konsisten untuk memilih dan mengambil bidang pekerjaan ini. “profesionalisme” dalam mengamati, menilai dan memutuskan kualitas artitistik estetik dari kreatifitas seorang seniman dan pelaku seni tidak menjadi petaka dan merugikan semua orang. Profesionalisme (profésionalisme) menurut Wikipedia adalah sifat-sifat (kemampuan, kemahiran, cara pelaksanaan sesuatu dan lain-lain). Profesionalisme dari kta profesion yang berhubungan dengan profesion: kepandaian khusus untuk menjalankan pekerjaan. “Profesionalisme” juga sebutan yang mengacu sikap mental, bentuk komitmen yang berhubungan dengan moral agama bernilai positif.

 Peran dan fungsi seorang hakim dalam kerjanya, diharapkan mampu memberikan “rasa keadilan” terhadap berbagai fenomena estetik sebagai  “penjaga gawang” bagi nilai estetik yang lahir tempo dulu – sekarang. Bersamaan dengan itu, bahkan tidak jarang –  sosok hakim dalam makna agama sebagai orang yang diutus Tuhan dalam memberi “keadilan” dan manfaat bagi banyak orang, terkait hasil penilaian dan keputusan – “baik dan buruk” suatu karya seni. Keputusan seorang hakim dapat dijadikan wacana bagi kualitas estetis yang dicapai oleh seniman dan pelaku seni dalam rentan waktu dan ruang yang berbeda. Tugas dan tanggung jawab yang terberat bukan hanya pada seniman (pelaku seni) dan publik, lebih jauh kepada Tuhan Yang Maha Tahu dari setiap keputusan yang diambil.

Sebagai manusia yang terpilih tentunya apa pun “vonis” yang dijatuhkan akan dijadikan parameter pencapaian kulitas estetis dan berdaya guna sebagai sumber informasi, wacana ke-ilmu-an terhadap perkembangan dan perubahan kebutuhan estetik yang terjadi dalam sekelompok masyarakat terkait dengan berbagai aktivitas budaya (baca: kesenian). Sehingga hakim seni adalah manusia pilihan yang dibekali pengamatan rigid dan ketat dalam menelisik masuk dalam karya seni yang dilahirkan oleh seorang seniman. Ia juga dibekali sedikit lebih tajam, teliti, terlatih seiring dengan kecerdasan emosional (jiwa) – anuggerah oleh Tuhan: lebih dari manusia umumnya. Bekal itu adalah amanah yang mesti disadari dan agama melarang keras jika ia menafikkan amanah.

 Melacak sosok seorang hakim seni (Baca: pen-juri-an) di Aceh dengan berbagai criteria yang khusus dan komplit bukan perkara mudah. Apalagi  sosok yang benar-benar berkompeten, jujur, adil dan bertanggungjawab dalam perkara memutuskan hasil karya seni yang diamati. Hingga dari berbagai momen dan peristiwa estetis terkait festival/ lomba seni, acap kali menimbulkan konflit dari berbagai arah, ketidakpuasan para peserta yang berujung pada “keributan” tak berujung. Begitu pun dari pihak panitia pengelola lomba (EO),  memilih, mencari dan menunjuk: siapa sosok manusia “setengah dewa” itu cenderung menggunakan pendekatan emosional (hubungan perkawanan) – terkesan banyak tidak tepat dan dipaksakan.

Kondisi ini juga didukung oleh konflik internal yang terjadi antara seniman dan penyelenggara lomba,sehingga kehadiran seorang juri hanya sebagai salah satu elemen atau boneka yang cenderung “tumbal” – syarat legalitas suatu festival/ lomba seni. Dalam pemahaman definitif: seorang juri adalah seorang tokoh terhormat – ia seorang “dewa” yang diutus yang mampu menyerap berbagai momen peristiwa estetis secara detail (baca: budaya dan kesenian), menganalisa secara mendalam, peka terhadap fenomena estetik, memilih dan memilah lalu memutuskan kualitas karya peserta dan kepadanya digantungkan banyak harapan.

Untuk duduk sebagai hakim di Aceh dalam memberi penilaian kualitas estetis baik bentuk dan wujud yang terindra secara mendalam – “elemen-elemen/ unsur komposisi dan isi (nilai positif) yang memuat pesan dan makna/ nilai filosofis dalam karya seniman, relatif jauh dari harapan sebagian orang (peserta). Sehingga ia hanya sekedar memuaskan panitia atau kontestan yang tidak kritis dan cerdas. Lebih lanjut di Aceh – panitia (EO) sering menunjuk hakim yang kurang memiliki latar pengalaman dan pendidikan yang dibutuhkan dalam setiap jenis festival/ lomba. Pada hal makna hakim secara difinitif  adalah seorang budayawan, tokoh adat, seniman – bahkan bisa jadi ia adalah seorang ahli agama (ulama) selaras dengan apa yang dibutuhkan dalam lomba. Sehingga tidak jarang “ke-dangkal-an” hakim dalam menilai membawa dampak pada konflik baru pada setiap peserta yang mengikuti lomba. Asumsinya: hakim “salah tempat” dan hanya sekedar “cok pheng” dalam tugasnya memilih dan memilah segala hal “baik dan buruk” dalam karya seorang seniman – pelaku seni.

Kemantapan pemahaman seorang hakim/juri seni sangat dipengaruhi oleh bagimana “ia” memiliki kualitas apresiasi terkait dengan bentuk dan isi sekaligus menterjemahkan kompleksitas nilai dari ungkapan seni baik itu: sebagai hiburan, system nilai budaya, religiusitas – agama, nilai adat masyarakat tertentu, sebagai simbol sarana berkomunikasi dengan manusia dan Tuhan, sebagai media propaganda politik tertentu (penguasa) atau ungkapan keunikan/ karakter outentik/ original kreatif seorang individu seniman dalam menyikapi realitas sosial dan budaya dan humanistik.

 Idealnya seorang hakim seni juga merupakan kritikus handal untuk mendidik masyarakat awam dan memberi berbagai informasi positif dan negatif bagi para seniman – pelaku seni maupun masyarakat luas. Tapi yang lebih penting seorang hakim memiliki kewajiban moral estetis, pembaptis karya yang diamati baik yang “baru dan Lama”, selain ia harus dapat mempertanggung jawabkan segala keputusan yang dihasilkan, dengan kepercayaan diri secara santun dan tidak tinggi hati atau merasa paling tahu segalanya, bertindak adil dan jujur, tepat di bidang yang digelutinya (teoritis dan teknis). Memiliki pengalaman secara langsung dan daya tangkap serap yang berkualitas dari apa yang diamati secara kritis dan cerdas dan bernas. Pengetahuan dan pengalaman bagi seorang hakim merupakan perangkat dan modal penting untuk melaksanakan tugas secara baik dan benar. Yang patut disadari adalah walau hakim adalah orang pilihan dan terhormat, melelahkan mentalitas dan fisikis – menyajikan keputusan yang bijak dan adil, tetapi ia harus terus menambah pengetahuan dan pengalaman, sehinga ketika ada dilemma yang membentur ia dapat selesaikan dan meminimalisir. Artinya ada dua pilihan bagi seorang hakim: “belajar atau Pensiun” ketika keputusan jauh dari harapan seluruh peserta.

Ketika juri telah melakukan pekerjaannya secara professional, maka sepatutnya kita (EO) menghargai profesi juri tersebut dengan bayaran yang memadai, ini adalah bentuk apresiasi sebagai langkah tindakan atas profesi juri yang dikerjakan secara profesional. Juri yang profesional akan melakukan penjurian secara objective, fair, dan bertanggung jawab. Dalam melaksanakan pekerjaannya Ia harus mampu membuang hubungan perkawanan dalam setiap karya, dengan tetep menjunjung hubungan persaudaraan. Kalau hakim/ juri seni bertindak profesional reputasinya tidak mampu ditukar dengan uang, walau sampai hari ini di Aceh – juara dapat “dibeli” dengan uang dan ……….???? “Sama seperti suara kita pada musim PEMILU 2014 akan datang”.

 *Anton Setiabudi, M.Sn Koreografer dan Dosen Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry

Anton Sabang

Facebook Comments

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: