Ikan Besar di Kolam yang Kecil

ulis

By: Ulis (bukan yang punya rumah makan)* 

Menarik menyaksikan acara GMA: A Spirit of Seattle Sound yang diadakan pada tanggal 9 Februari 2013 yang lalu. Sebagai seseorang yang menghabiskan masa remaja di era 90-an, acara tersebut tentunya membangkitkan sebuah kerinduan, kerinduan akan kenangan yang selama ini tersimpan di ruang-ruang dingin di dalam sel-sel kelabu otak kecilku. Merinding mendengar lagu-lagu Pearl Jam, Nirvana dan Soundgarden dimainkan oleh teman-teman yang tampil malam itu. Suasana berubah seakan-akan sedang berada di dalam bekas kamar rumahku di tahun 90-an (yang kini hilang dihancurkan tsunami). Bahkan udara malam itu pun beraroma persis sama seperti yang kurasa 20 tahun yang lalu.

Konser A Spirit of Seattle Sound merupakan sebuah simbol. Simbol anti kemapanan dan perlawanan terhadap ketidak berdayaan kita menghadapi industri musik yang selama ini  selalu menggunakan formula-formula dagang khusus, yang hanya mengangkat musisi-musisi dan karya-karya mainstream saja.  Simbol yang menginspirasi kita untuk ikut mendirikan sebuah label independent sendiri yang diberi nama AM Records. Simbol yang memberi harapan untuk terus berkarya dan menjadi besar, walau hanya di sekitaran lingkup sempit daerah Aceh saja. Kami mendorong musisi Aceh yang tergabung di dalam GMA untuk mempublikasikan karyanya bersama AM Records. Siapa tahu kelak karya yang dirilis secara lokal bisa dilirik oleh label nasional, seperti yang terjadi di kota Seattle era 90-an. Namun setidaknya (walau secara lokal) sebuah legacy/warisan sudah ditabalkan ketika karya musisi tersebut dikeluarkan dalam bentuk album.

Ada beberapa cerita yang “tidak” tergolong success story mengenai perjalanan hidup beberapa band/musisi yang mencoba mengadu nasib di Jakarta. Jakarta sebagai pusat industri hiburan (dan industri-industri lainnya) memang menjadi magnet bagi banyak musisi daerah. Hampir semua musisi mempunyai keinginan untuk menjadi terkenal secara nasional, dan itu “hanya” bisa diraih dengan hijrah atau berkarya di sana. Namun, ketika Jakarta diserbu oleh ribuan musisi yang bersaing memperebutkan kue industri hiburan yang jumlahnya sangat kecil, maka makin besar dan sukar persyaratan yang dibutuhkan agar bisa bersaing untuk menjadi seorang pemenang.

Kondisi sekarang bagi musisi/band yang berjuang di Jakarta:  skill dan kerja keras saja tidak cukup, harus didukung bakat yang luar biasa, vice-versa; Tidak cukup dengan itu, musisi tersebut harus mempunyai “keunikan” dan karya yang sangat bagus; Tidak cukup dengan itu semua, harus juga didukung oleh aspek finansial yang sangat kuat dan koneksi dagang yang berpengaruh; Sekarang, punya banyak uang pun tidak menjamin  seorang musisi bisa menembus pasar nasional, faktor keberuntungan juga sangat berperan. Namun ada juga cerita sukses mengenai musisi-musisi daerah yang mempunyai keberuntungan besar hingga bisa terkenal secara nasional. Tapi itu jumlahnya sangat sedikit. Walaupun semua yang saya sebutkan diatas diketahui dan disadari oleh semua musisi daerah, tetap saja kiblat dan jarum kompas diarahkan ke Jakarta. Seorang rekan mengatakan: “Seperti halnya berjudi, mana tau bisa menang!”.

Keinginan untuk terkenal secara nasional, membuat kita melupakan potensi-potensi yang ada di daerah. Sebuah testimony dari seorang teman yang mengatakan bahwa dia gengsi untuk membuat album yang hanya diedarkan di Aceh, karena ada kepercayaan yang beredar mengatakan bahwa yang disebut dengan “album Aceh” adalah album yang jenis musiknya dangdut/house ala Aceh.  Namun dia melupakan fakta bahwa secara komersil beberapa artis lokal yang memasarkan musiknya di Aceh mencapai prestasi yang sangat hebat. Seorang Ramlan Yahya berhasil menjual ratusan ribu kopi VCD untuk setiap albumnya, dan sudah mencapai diatas sejuta kopi kalau dihitung dari penjualan total seluruh albumnya (info dari om Syech Ghazali, Aira). Album Nyawoung yang dirilis tahun 2000 bisa “meledak” dengan musik pop/jazzy/rock yang jauh dari kesan dangdut/house Aceh. Lintoe (Moritza Thaher), Raffly, Kande, Saleum, Raket, Bidjeh Maggot, TP Troop, dan Liza Aulia adalah nama-nama lain yang berhasil untuk tidak terjebak dalam konsep house dut ala Aceh.

Secara alami, musisi Aceh mempunyai peluang untuk bisa besar di daerahnya sendiri. Interaksi sosial yang intens dengan penggemar/penonton dan masyarakat adalah salah satu aspek untuk berhasil. Apalagi dengan musik dan lirik yang (pasti) terpengaruh/terinspirasi dengan kehidupan sosial budaya setempat. Jangan pikirkan scope peredaran nasional untuk album yang mau dirilis. Bukan kah lebih baik menjadi ikan besar di kolam kecil, daripada menjadi ikan kecil di kolam yang besar? Peluang menjadi ikan besar walaupun di kolam kecil adalah sangat besar.  Dan, tetap ada harapan bisa “pindah” ke kolam yang lebih “besar” nantinya. Mari kita manfaatkan potensi itu.

Bagaimana dengan target penjualan? Dan bagaimana cara menjualnya?  Di level nasional, penjualan fisik album/CD memang tidak menggembirakan, secara umum karena maraknya pembajakan baik di internet maupun berupa CD palsu yang dijual di kios-kios cd bajakan. Produser pun mencari alternatif lain, misalnya bekerja sama dengan KFC ataupun Indomaret. Masih hangat pemberitaan mengenai penjualan album Seperti Seharusnya milik NOAH yang laku sejuta keping hanya dalam waktu 3 bulan saja melalui KFC. Mungkin sedikit sekali persentase yang diperoleh oleh produser dan artisnya dari penjualan album, tapi kuantitas yang besar tentunya akan memberi profit yang besar juga. Selain itu, nilai penjualan yang besar dan “terukur” tentunya akan menaikkan grade artis tersebut. Efeknya adalah bertambah besarnya nilai performing fee, dan nilai tawar yang kuat untuk peluang-peluang bisnis lain seperti honor iklan  dan film/sinetron, dan lain-lain. Bagaimana dengan target artis GMA? Targetnya tidak usah terlalu muluk. Kita mulai dengan kuantitas kecil saja. Kalau besar permintaan, tinggal dicetak ulang. Bagaimana dengan cara penjualannya? Yang bergabung di dalam GMA makin hari semakin ramai. Dengan  jumlah yang besar, komunitas ini bisa menjadi pasar (internal) bagi musisi-musisi GMA Records. Saling dukung! Cara lain adalah bekerja sama dengan clothing line/distro ataupun usaha-usaha lain, dengan titip edar album untuk dipaketkan dengan produk mereka. Output dari peredaran album ini adalah: grade band/musisi akan terangkat, performing fee bertambah, band akan lebih terkenal. Syukur-syukur album tersebut disukai dan ditarik oleh label besar.

Tentunya peran publikasi dan marketing sangat penting di dalam penjualan album-album musisi lokal tersebut. Tanpa dukungan TV, radio, media cetak dan online setempat, AM Records dan arti-artis nya tidak bisa berkibar kencang. GMA harus terus menerus menjalin hubungan yang baik dengan pihak-pihak media tersebut.

Jadi, tunggu apa lagi? Sekarang lah saatnya bertindak. Siapkan karya, bergabung lah dengan GMA! Bersama kita pasti bisa!

*Musisi Aceh, pernah hijrah ke Jakarta untuk bikin album, dan kembali; dan hobinya mancing.

Related

Facebook Comments

7 thoughts on “Ikan Besar di Kolam yang Kecil

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: