Identitas Musikalitas

Photo Source: shadow2727/deviantart
Photo Source: shadow2727/deviantart

By: Muhammad Iqbal (Ibl apx)

Setiap tahun perkembangan musik terus mengalami perubahan dan menjadi trend pada masanya. Hal tersebut tidak terlepas karena adannya dorongan-dorongan kreatififitas dari para musisi yang melakoni dunia musik dan turut serta memberi kontribusi dengan konstruktif terhadap perkembangan-perkembangan yang terjadi ditengah-tengah seluruh para penikmat musik.

Perbedaan paling mendasar disetiap era berkembangannya musikalitas musisi antara lain dipengaruhi oleh teknologi yang berbeda, yang dahulu rekaman live beralih ke era digital. Atau contoh lain misalnya sangat jelas terasa perbedaan nuansa permainan tahun 70-an dengan 80-an, kurang lebih mempengaruhi terhadap pendengaran, visual dan rasanya.

Atau mungkin perubahan gaya bermusik tahun 90-an ke era tahun 2000-an, 90-an era grunge, Seattle Sound dan alternative sedang jaya-jayanya dan digilai para penggemar mereka pada masanya berubah seiring waktu kepada trend musik seperti hip-metal yang mewabah pada 2000an awal. Yang dulunya style manggungnya pakai baju kemeja kotak-kotak lusuh atau kaos urakan dan celana jeans robek kemudian beralih kepada celana borju/komprang dengan cenderung menggunakan aksesoris sport.

Walaupun musisi aktif mengikuti perkembangan trend, namun tidak semua musisi tergiring kepada arus mainstream. Mungkin anak-anak muda masih bimbang dalam menentukan identitas musikalitasnya kearah mana, dalam hal ini apabila dilihat dari sisi positifnya mereka akan terus mencari dan menggali potensi diri seiring perubahan-perubahan yang terjadi dengan menjadikan pengalaman-pengalaman bermusiknya itu yang akan menjawab identitas musik mereka pada akhirnya, sesuai minat tiap individu dalam menentukan pilihan terhadap warna mereka sendiri.

Dan dari sisi negatifnya dikhawatirkan arus perubahan yang terjadi menjadikan seseorang hanya sekedar ikut-ikutan trend tanpa menemukan identitasnya sehingga mempengaruhi kualitas seorang musisi dalam musikalitasnya. Terlebih lagi dapat menyebabkan kejenuhan terhadap kegiatan-kegiatan bermusiknya dan dapat mengganggu eksistensi musisi dalam bermusik. Realitas yang terjadi sekarang khususnya dalam urusan musik lebih kepada mementingkan kuantitas daripada kualitas, maka tidak heran lahirnya ajang-ajang alternatif sebagai pintu bagi masyarakat kita yang doyan ingin terkenal secara instan tanpa untuk bercermin pada diri sendiri dahulu, walhasil tak jarang kita melihat yang tak mampu untuk bertahan eksis juga banyak, padahal harusnya seluruh musisi mengetahui bahwa mereka yang disebut legenda mendapatkan gelar itu bukan dengan mudah, melainkan latihan dan belajar terus menerus demi menemukan identitas musikalitasnya dan dikenali oleh seluruh penikmat musik.

“…mereka yang disebut legenda mendapatkan gelar itu bukan dengan mudah, melainkan latihan dan belajar terus menerus demi menemukan identitas musikalitasnya dan dikenali oleh seluruh penikmat musik.”

Hal ini bukan untuk menjadikan kotak-kotak dalam bermusik, melainkan agar setiap musisi memahami, belajar dan saling menghargai setiap hasil karya yang dihasilkan musisi pendahulu. Bukan berarti bermusik seakan diam ditempat, namun musisi dapat melakukan berbagai eksperimen, eksplorasi bahkan kombinasi-kombinasi dari segala wawasan selama pengalaman bermusik yang dialaminnya. Dan musisi yang telah berpengalaman pun menerima berbagai informasi dan pengetahuan gaya bermusik terkini sebagai suatu yang dapat dimungkinkan untuk dikombinasikan ke dalam semangat bermusik serta menambah wawasan musikalitasnya.

Bahkan para musisi yang sering memainkan berbagai musik (katakanlah, pengiring wedding) melakukan berbagai hal-hal yang menarik tanpa meninggalkan ciri khas gaya bermain mereka. Bukan tuntutan harus sama persis seperti musisi yang terpengaruh, karena hal tersebut sama saja dengan plagiat/menjiplak. Namun siapapun yang ter-influenced harusnya menjadikan itu sebagai spirit untuk menemukan identitas bagi tiap-tiap musisi.

Apabila kita melihat dan meninjau dari root-nya bahwa band sehebat Slank mungkin tidak bersemangat tanpa adanya motivasi dari band tua asal Inggris yakni The Rolling Stones, Dewa ter-influenced dengan Toto dan Queen, Muse terpengaruh dengan Radiohead atau seorang Stevie Ray Vaughan dan Yngwie Malmsteen terdorong karena sang dewa gitar Jimi Hendix. Cobalah lihat mereka yang terpengaruh itu justru mereka melahirkan sesuatu yang baru dari eksperimen, eksplorasi dan kombinasi dari segala pengalaman bermusik mereka.

Serupa tapi tak sama, bukan harus menuruti kesukaan orang lain namun jadikan orang lain menyukai, memahami dan menghargai identitas musikmu…saling menghargai dan terus belajar para musisi…

Ibal Apx *Muhammad Iqbal. S.Sos adalah seorang sarjana ilmu-ilmu sosial dan gitaris dari Ibal Apex and Bang Blues, King of Fire dan Line Out. 

 

Facebook Comments

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.