Pengalaman Berpuasa Ramadhan di Belanda
Ditengah-tengah kesibukannya belajar di program master Teknik Sipil di UNESCO-IHE Institute for Water Education, Delft, Humas Gabungan Musisi Aceh Aulia Rohendi menyempatkan dirinya untuk menulis pengalamannya berpuasa untuk pertama kalinya di negeri Belanda. Perbedaan iklim dan kultur memang memberi tantangan yang besar untuknya. Dengan adanya “bonus” menonton “North Sea Jazz Festival” yang sangat terkenal itu, penyanyi penggemar berat Jazz ini menuturkan kisahnya berpuasa yamg penuh kesan di negeri Belanda kepada acehmusician.org. Simak ceritanya berikut ini:
*
Sebelum saya berkesempatan untuk kuliah di Belanda, saya sudah membayangkan bagaimana bila nantinya berpuasa di Eropa. Teman saya yang di Jerman menceritakan bagaimana muslim di sana harus menahan lapar dan dahaga dalam 19 jam. Memang kedengarannya agak “sadis”, dan yang ada dalam pikiran apakah saya akan sanggup? Bila kebanyakan istirahat sih bisa, tetapi bila jadwal kuliah padat, bagaimana?
Tiba di Belanda Oktober 2013, saya mendapat kamar sewa di jalan Papenstraat, di pusat kota kecil Delft. Tetangga satu blok saya yang merupakan senior di kampus yang sama sering berbagi pengalaman tentang hidup di Belanda dan berjuang di kampus tercinta, UNESCO-IHE. Mas Nawis, tetangga saya itu, bilang Ramadhan tahun lalu dan tahun 2014 tidak akan jauh berbeda, karena jatuh pada musim panas. Tentu, ya, 19 jam! Tetapi dalam hati saya tetap optimis, insya Allah bisa, karena tidak ada yang mati karena puasa kan di Eropa? Bahkan kalau negara Skandinavia bisa 21 jam!
Bulan Juni, sebelum Ramadhan datang, saya dan teman Belanda saya, Ella, dan teman sekampus saya dari Hongkong, Patrick, mengadakan makan malam bersama. Waktu itu kita membahas kira-kira kapan akan mengadakan pertemuan lagi. Saya langsung beri gambaran bahwa selama periode akhir Juni-akhir Juli saya sepertinya akan tidak bisa ikut, karena saya akan fokus ke puasa. Saat itulah mereka mengetahui lebih jauh tentang puasa bagi muslim. Mereka lumayan terkejut ketika mendengar muslim di sini berpuasa 19 jam. Bahkan Ella bilang, “Not even drink? Tapi kamu butuh minum, bisa dehidrasi (kalau tidak)”. Saya hanya mengangkat tangan memberi isyarat what I should do, I would do. Bukan hanya Ella dan Patrick yang merasa takjub. Ha, teman saya dari Vietnam, juga. Dia bahkan bilang “Where do you get energy? It’s crazy” Saya jawab, “It’s miracle!” Ya, ini ajaib sekali buat saya. Biasanya bila sarapan roti dan buah sebelum kuliah, jam 11 saya sudah mulai merasa lapar. Tetapi, ketika berpuasa, saya baru mulai merasakan lapar jam 5 sore keatas, padahal makan sahur sekitar jam 3 pagi. Ajaib!
Ramadhan datang dalam perbedaan: sebagian media mengabarkan bahwa di Belanda puasa dimulai 28 Juni, sedangkan komunitas muslim Indonesia di Delft memulai puasa tanggal 29 Juni. Saya ikut yang belakangan. Teman-teman sekampus dari Indonesia berbeda dalam memulai puasa, mengikuti keyakinan masing-masing. Tidak ada masalah, sudah biasa “dididik” dengan perbedaan di Indonesia.
Bagaimana rasanya puasa 19 jam? Alhamdulillah diberi kekuatan. Walaupun dengan jadwal kuliah yang lumayan padat di kampus saya (yang berbeda dengan kampus-kampus lain di Belanda yang lebih santai), dan dengan jadwal shalat yang jarak-antar-waktu-shalatnya jauh berbeda dengan di Indonesia, saya bisa berpuasa dengan baik. Bayangkan, waktu Subuh tanggal 29 Juni jatuh pada pukul 3:10, Dhuhur 13:47, Ashar 18:10, Maghrib: 22:07, dan Isya’ 00:09. Berarti, waktu berpuasa adalah dari jam 3:10 ke jam 22:07. Waktu Isya yang jam 00:09 berjarak 3 jam saja ke waktu Subuh keesokan harinya. Lho, kapan tarawihnya? Ya setelah Isya’, teteup, hehe. Nah, dibandingkan dengan di Belanda, durasi puasa di Indonesia 13-13,5 jam. Lebih enak di Indonesia, tentunya!
Untuk shalat tarawih, di perumahan mahasiswa Mina Krusemanstraat, beberapa teman muslim menggelar shalat tarawih bersama, walau jumlah jamaah tidak banyak. Untuk yang ingin shalat di mesjid, ada mesjid Turki (Sultan Ahmet Mosque) dan mesjid Marokko (Marokkaanse Sociale Culturele Vereniging Delft). Acara berbuka puasa kadang-kadang diadakan oleh muslim di Delft di perumahan mahasiswa yang saya tempati ini. Selain itu teman-teman mahasiswa Indonesia juga punya kesempatan menggelar buka puasa bersama.
Berbicara tentang atmosfir Ramadhan, tentu jauh sekali berbeda dengan Indonesia, terutama di Aceh. Di kampung halaman, suasana Ramadhan sangat terasa, baik dari kegiatan sehari-hari masyarakat (ngabuburit, penjual makanan berbuka) ataupun kegiatan di mesjid (tadarus, tarawih). Berbanding terbalik dengan di sini, adzan saja tidak terdengar, karena mesjid cukup jauh, konon lagi berharap mendengar suara orang-orang tadarus dari mesjid. Lebih syahdu di Aceh!
Dalam menjalankan kegiatan sehari-hari selama Ramadhan, perlu strategi. Misal, dalam hal waktu tidur yang tidak cukup (Isya’ke Subuh aja 3 jam), maka waktu tidur diatur setelah subuh, atau setelah kuliah bila jadwal tidak padat, atau sebelum berbuka puasa. Jalan-jalan dikurangi, karena bisa dehidrasi bila menghabiskan aktivitas di luar rumah, apalagi ini musim panas (paling tinggi suhunya sekitar 35 derajat, selebihnya walaupun musim panas tetap cuaca khas Belanda sering juga terjadi: mendung, angin kencang, hujan ringan).
Soal makanan, di Belanda relatif mudah menemukan makanan Indonesia. Makanan yang sudah jadi tentu lebih mahal kalau dirupiahkan, misal nasi campur satu porsi sekitar 5-6 Euro (sekitar 80 ribu Rupiah). Selain beberapa restoran Indonesia di Delft, ada juga toko bahan makanan Indonesia yang juga menjual lauk sudah jadi. Tetapi, bagi mahasiswa Indonesia ini menjadi hal yang tidak lazim dibeli karena harga yang cukup mahal apalagi bila dibandingkan dengan memasak sendiri. Misal harga daging ayam mentah 1 kg (drumstick, paha ayam) sekitar 3 Euro, sedangkan bila sudah dimasak, 1 potong bisa seharga beberapa Euro. Bahan makanan Indonesia yang cukup umum bisa ditemukan di supermarket, sisanya bisa ditemukan di supermarket Asia. Kebutuhan daging halal bisa dipenuhi oleh toko bahan makanan milik orang Turki. Ikan cukup populer di Belanda, sehingga cukup mudah untuk mendapatkannya. Di toko ikan, mereka menjual ikan mentah sekaligus ikan yang sudah dimasak (lekkerbekken, kibbeling, dll). Tentu saya tidak akan membeli ikan haring khas Belanda, karena ikan itu biasanya dimakan mentah-mentah oleh orang Belanda, dengan hanya menambahkan irisan bawang, dan kadang dijadikan isi roti lapis.
Apa tidak rindu dengan masakan dan makanan Aceh atau makanan khas Ramadhan? Ya tentu saja. Tapi selama Ramadhan malah malas memasak, inginnya yang praktis-praktis saja. Untuk berbuka, saya biasanya berbuka dengan kurma dan minuman sirup mawar dicampur kolang kaling kaleng (hehe) dan cincau kalengan. Sirup cap tertentu yang khas di sana, tentu tidak ada. Di sini sulit menemukan sirup untuk minuman karena orang-orang di sini lebih memilih minum jus kotak, susu, bir, kopi dan sebagainya. Sempat juga membuat kolak pisang dan ketela serta boh rom-rom (onde-onde/klepon). Beberapa makanan Indonesia juga beberapa kali dibuatkan oleh teman, misal bala-bala dan candil (senangnya). Selebihnya, masak yang praktis saja, apalagi jumlah konsumsi makanan berkurang dari saat sebelum puasa. Hmm, lebih enak di kampung halaman, tinggal makan atau tinggal beli, tidak perlu masak.
**
Pengalaman seru selama berpuasa Ramadhan saya dapati ketika ikut pemilu tanggal 5 Juli di KBRI Den Haag. Jarak antara Delft-Den Haag tidak terlalu jauh, dengan tram sekitar 30 menit dan dengan kereta api sekitar 12 menit. Untuk menuju KBRI kami memilih naik tram. Setelah jalan kaki beberapa ratus meter dari halte tram Ary van der Spuyweg ke KBRI, kami lemas melihat antrian yang cukup panjang untuk masuk ke KBRI. Warga Indonesia memang sangat antusias dalam pemilihan Presiden kali ini. Akhirnya, proses memilih ini kami jalani dalam waktu 2 jam 45 menit. Lumayan pegal menunggu. Lalu, karena mumpung di Den Haag, kami ke pusat kota (centrum) Den Haag untuk belanja bahan makanan dan makanan-siap-saji khas Indonesia untuk berbuka. Rencana awal untuk menonton pertandingan Piala Dunia di sebuah kafe di centrum Delft antara Belanda melawan Kosta Rika pada pukul 22:00 waktu Belanda mendadak kami batalkan karena kelelahan. Oh ya, bertepatannya Piala Dunia dengan Ramadhan kali ini juga jadi hal yang unik. Beberapa undangan nonton bareng oleh teman-teman dari negara lain atau Indonesia saya penuhi walau harus berada di sana sekitar jam 9 malam dan buka puasa jam 10 malam. Kadang karena kafe yang kami datangi tidak cocok menunya untuk berbuka puasa, walhasil saya hanya makan makanan kecil atau bahkan pernah menunda makan.
Hal menarik lainnya adalah ketika saya menonton North Sea Jazz festival tanggal 11, 12 dan 13 Juli. Acara dimulai sore, dan saya harus berangkat tiap hari dari Delft-Rotterdam naik kereta api lalu melanjutkan naik metro ke Ahoy. Hari pertama saya berbuka puasa dengan minum saja di tengah penampilan Robin Thicke. Hari kedua, berbuka di tengah penampilan Joss Stone, dan hari ketiga, di tengah penampilan Natalie Cole. Selepas rangkaian penampilan sekitar tengah malam, saya pulang ke Delft. Hari pertama saya makan tengah malam selepas konser (saya bawa bekal), tidak sempat sahur di rumah karena ketinggalan kereta api, dan baru bisa naik kereta api berikutnya jam 3 pagi, jadi saya makan Broodje Doner (roti kebab) di stasiun Rotterdam. Hari kedua dan ketiga untungnya bisa lebih cepat sampai di rumah, sehingga bisa sahur di rumah.
Walaupun dengan perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan menjalankan ibadah Ramadhan di tanah air, alhamdulillah saya bisa lancar berpuasa, itu yang utama. Perbedaan ini membuat saya rindu dengan tanah air, karena kesyahduan di sana tidak ada tandingannya bagi saya. Jadi, buat pembaca yang kurang “menikmati” Ramadhan di kampung halaman, coba dinikmati lagi. Bersyukurlah bahwa puasa lebih khidmat di Indonesia 🙂
***
Aulia Rohendi dapat dijangkau dengan akun sosmed berikut ini:
Facebook : Aulia Auliyyaa Rohendi
Twitter : @Auliyyaa
Blog: http://auliyyaa.com
Sebenar benarnya ujian itu ada di "Red Light District" bang…hihi..
Apa yang paling membuat berkesan dalam menjalani puasa disana?