Serba-serbi Dangdut, Bagian Pertama
By: Teuku Syahputra “Petrozza” Nurdin | Musisi | Pengamat Musik Dangdut |
Diantara banyak aliran musik yang berkembang di Aceh, sepertinya musik dangdut yang paling jarang muncul di dalam panggung-panggung musik dengan format band. Walaupun begitu, dangdut terbukti sangat dekat dengan masyarakat Aceh. Dimana-mana musik dangdut diputar: di bis atau taxi L300 antar kota/antar propinsi, selalu dangdut yang hadir menjadi teman di dalam perjalanan. Ketika disuruh melola studio Metazone oleh bang Deddy di akhir 90-an, jarak antara rumah dan studio yang harus menempuh trayek Ketapang – Pasar Aceh disambung Pasar Aceh – Lingke, selalu mendapat suguhan dangdut di setiap labi-labi yang kutumpangi. Pokoknya dimana-mana!
Ada beberapa stigma tercipta dari musik dangdut yang memang sudah ada sejak aku mulai bermain musik di awal 90-an sampai hari ini: Dangdut musik kampungan, tidak trendi, tidak macho, dan lain-lain.
Walaupun saya adalah seorang musisi metal sejati, tetapi tetap muncul sebuah perasaan “bangga” terhadap musik dangdut ini. Bagaimana tidak, coba sebutkan jenis musik asal Indonesia yang sangat popular, bahkan di seluruh dunia? Jawabannya adalah dangdut! Keroncong, gamelan, dan beberapa jenis musik lain asli nusantara belum bisa mengalahkan nama besar dangdut ini. Pertahankan!
Bayangkan sebenarnya banyak jenis musik dari belahan dunia lain di dunia ini yang ngetop dan dianggap bergengsi di Indonesia. Dan semuanya adalah musik “kreasi baru”. Contohnya Blues dan Jazz yang muncul di akhir abad 19. Swing di tahun 1920-an, Samba (Brazil) di tahun 1917, Bossanova (Brazil) 1950-an, Afrocuban (1940-an), Salsa (Puerto Rico) 1970-an, Rock n’ Roll 1950-an, Heavy Metal akhir 60-an, Disco 1970-an, dan lain-lain. Semua musik diatas adalah hasil dari inovasi dan hybrid dari beberapa jenis musik yang ada sebelumnya.
Dangdut sendiri muncul di era 60-an, walaupun proto-dangdut sudah mulai muncul di era 40-an. Jadi sama saja tooh? Masih dianggap tidak bergengsi? Menurut bang Momo (Moritza Thaher), Samba dan Bossanova itu adalah musik orang kampung Brazil, Salsa musik orang kampung Puerto Rico, Blues, Country dan Jazz adalah musik kampungnya orang Amerika, dan lain-lain, yang semuanya adalah musik orang kampung di tanah airnya masing-masing. Tinggal sekarang “pikiran” kita saja yang bisa membuat dangdut itu kampungan atau bergengsi.
Seorang professor etnomusikologi dari University of Pittsburg, Amerika Serikat, Prof. Andrew N. Weintraub, BA, MA, Ph,D telah mengeluarkan sebuah buku yang berjudul Dangdut: Musik, Identitas dan Budaya Indonesia pada tahun 2012 yang lalu.
Weintraub yang istrinya asal India ini mulai meneliti dangdut sejak 1984. Dia menyimpulkan bahwa dangdut berakar dari musik melayu yang berkembang di tahun 1940-an. Banyak lagu melayu yang muncul di era 40-an, 50-an dan 60-an yang mengambil pengaruh musik India dan Arab. Terutama alat musik tabla yang dianggap sebagai instrument penting. Bahkan banyak lagu hits menjiplak lagu-lagu dari India. Namun seiring perjalanan waktu, musik melayu tadi berkembang dan bertransformasi menjadi sebuah jenis musik baru yang unik di tahun 60-an.
“Ada yang bilang dangdut itu dari Malaysia karena ada unsur Melayu, atau ada juga yang bilang dari India karena ada unsur India-nya, tapi saya sudah meneliti sejak 1984 dan ternyata sifat dangdut itu khas Indonesia,” kata Weintarub (source: Kompas )
“Jadi, dangdut itu memang asli Indonesia, karena ada sifat khas Indonesia yang tidak ditemukan dari musik Melayu dan India, di antaranya tema lagu yang dekat dengan kehidupan orang Indonesia,” paparnya.
Selain itu, kata profesor yang suka angklung, gamelan, dan wayang itu, dangdut itu tidak sama dengan Melayu, karena Melayu di Indonesia ada di dataran Sumatera, tapi dangdut justru bermula dari Jawa.
“Karena itu, penelitian saya menyimpulkan dangdut itu musik asli Indonesia yang dibuat orang Indonesia untuk orang Indonesia, bukan musik India, Malaysia, Amerika, atau yang lain,”ucapnya, menegaskan.
ASAL MULA ISTILAH DANGDUT
Putu Wijaya awalnya menyebut dalam majalah Tempo edisi 27 Mei 1972 bahwa lagu Boneka dari India adalah campuran lagu Melayu, irama padang pasir, dan “dang-ding-dut” India. Sebutan ini selanjutnya diringkas menjadi “dangdut” saja, dan oleh majalah tersebut digunakan untuk menyebut bentuk lagu Melayu yang terpengaruh oleh lagu India (Source: Wikipedia). Dang-ding-dut adalah penyebutan untuk bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh tabla India.
Istilah dangdut dianggap pelecehan bagi pemusik melayu zaman itu. Sang Raja Dangdut Rhoma Irama juga menolak musiknya disebut dengan dangdut. Baginya yang dia mainkan adalah musik Melayu. Ini menjelaskan mengapa band-band “dangdut” di tahun 70-an menyebut dirinya sebagai Orkes Melayu (OM), bukan sebagai “Orkes Dangdut”. Contoh OM Soneta, OM Tarantula, OM PMR, dan lain-lain.
Walaupun menolak, istilah dangdut muncul juga di dalam lagu “klasik” Bang Rhoma yang berjudul Terajana (1973):
Sulingnya suling bambu, Gendangnya kulit lembu Dangdut suara gendang rasa ingin berdendang….Lambat-laun, istilah “dangdut” mulai diterima oleh masyarakat dan para musisi yang memainkannya. Dan dangdut mencapai puncaknya di 70-an dan 80-an awal. Mulai meredup di akhir 80-an, Dangdut pun “diolah” untuk menghilangkan kejenuhan. Dangdut diaransemen dengan mencampurkan berbagai jenis musik lainnya. Misalnya munculnya house-dut dan campursari di awal 90-an. Perkawinan rock dan dangdut sudah ada sejak 70-an. Era 2000-an muncul dangdut koplo. di wilayah Jawa Timur di daerah pesisir Pantura. Dangdut koplo merupakan mutasi dari musik dangdut setelah era dangdut campursari yang bertambah kental irama tradisionalnya ditambah dengan masuknya unsure seni musik kendang kempul yang merupakan seni musik dari daerah Banyuwangi Jawa Timur dan irama tradisional lainya seperti jaranan dan gamelan.(Weintraub).
Penggunaan alat musik pun berubah seiring dengan perkembangan teknologi. Di era awal dangdut, instrument masih didominasi oleh perangkat akustik seperti gendang, tabla, seruling, biola, saxophone, trumpet, tamburin, dan lain-lain. Kemudian adanya pemakaian instrument elektrik seperti gitar dan bas elektrik, organ dan piano elektrik. Di era 70-an gitar listrik mulai menggunakan efek-efek drive/distorsi yang muncul di era dangdut rock ala Rhoma Irama dan Mara Karma. Pesatnya inovasi di dalam pengembangan MIDI dan synthesizer (keyboard) yang menyertakan modul-modul micro computing, menyebabkan hadirnya keyboard “super” yang bisa memprogram musik dan lagu secara utuh ke dalam memory (disket), dan bisa dimunculkan kapan saja oleh si pemain keyboard. Keyboard semacam ini menyebabkan fungsi-fungsi sebuah Orkes Melayu atau Dangdut bisa diwakilkan oleh si keyboardist saja.
Akhir 80-an mulai muncul istilah Keyboard Tunggal atau Organ Tunggal yang “membunuh” orkes-orkes dangdut yang ada di Indonesia. Selain sewa yang lebih “murah”, organ tunggal juga tidak ribet di dalam instalasi sound system dan peralatan, dibandingkan dengan Orkes betulan. Merk keyboard yang terkenal untuk Organ Tunggal era tersebut adalah Technics KN-Series.
GOYANG DANGDUT DAN SAWERAN
Tidak hanya musik, dangdut juga menyajikan aksi panggung yang khas dengan “goyang dangdut”. Goyang dangdut sangat unik karena adanya pengaruh-pengaruh tarian-tarian tradisional seperti jaipong dan ronggeng. Kadang-kadang dianggap “vulgar” atau tidak sopan karena penyanyi dangdut suka bergoyang extra sensual dengan menggoyang-goyangkan pantat secara massive dan menggunakan busana seksi dan make up yang menor.
Ke-vulgar-an goyangan itu juga yang menyebabkan ngetopnya kembali dangdut di era 2000-an. Kita masih ingat Inul Daratista dengan “Goyang Ngebor”. Kemudian marak muncul diva-diva dangdut dengan goyang kreasinya sendiri seperti: Dewi Persik (Goyang Gergaji dan Goyang Tit-tit), Uut Permatasari (Goyang Ngecor), Annisa Bahar (Goyang Patah-patah), Zaskia (goyang Itik), Nagoya Victoria (Goyang Naga), dan lain-lain. Tentunya kalau dilihat dari kacamata artistic, semua goyangan diatas akan terlihat sangat menarik. Namun dilihat dari kacamata norma-norma yang berlaku di Indonesia semua goyangan diatas akan dikategorikan ke dalam “erotis”, “tidak sopan”, “vulgar”, atau “jorok”. Apalagi banyak busana yang digunakan sangat seksi dan sensual.
Dalam pentas dangdut, ada istilah saweran dimana penonton melempar atau menyelipkan uang kepada penyanyi dangdut. Penyanyi yang dimaksud disini tentunya wanita. Kalau penyanyi pria disawer pasti yang bikin acaranya komunitas kuda lumping atau reog. Budaya sawer ini saya asumsikan berasal dari pentas-pentas jaipong atau ronggeng yang memang mempunyai kebiasaan seperti ini. Saweran ini bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi saweran bisa membantu menambah penghasilan si penyanyi. Di sisi lain saweran “merendahkan” martabat terutama saweran yang diiringi dengan meraba-raba atau merogoh-rogoh badan si penyanyi, dan/atau sang biduanita dangdut harus melepas pakaian satu persatu ala penari striptease. Eksploitasi perempuan terkadang hadir di pentas-pentas “kelas bawah” yang diadakan di pojok remang-remang yang ada di desa-desa; ataupun di pentas-pentas “kelas atas” yang hadir di hotel-hotel berbintang, dan private party yang diadakan di mansion–mansion mahal para jutawan.
Fenomena saweran ini di daerah Sumatera terutama Sumut dan Aceh (daerah perbatasan) disebut dengan istilah keyboard Mak Lampir (dikarenakan dominannya pemain keyboard tunggal dibanding orkes dangdut).
Alhamdulillah, di Banda Aceh aku tidak pernah lihat atau dengar adanya keberadaan keyboard Mak Lampir ini. Pertahankan!
To be continued….
P.S. : Artikel part II akan membahas Teknik permainan, ciri musik dangdut, artis dangdut berdasarkan zamannya, dan judul-judul lagu dangdut yang dianggap legend.
Luar biasa pengetahuan Teuku Syahputra “Petrozza” Nurdin tentang musik dangdut. Kebetulan saya akan membuat diskusi/tanya jawab tentang genre musik asli Indonesia, Dan pasti saya akan meminta Teuku Syahputra “Petrozza” Nurdin sebagai salah satu pembicara utamanya…
asik ne, ajak2 ya om kalau diskusi nya jadi 😀
kereeennnn siap jogett mangggg 😀
Sedikit ralat Bang 😀 Judul lagu Rhoma irama itu bukan Terajana, melainkan judulnya Dangdut