Tetap Mengindustri Tanpa Meninggalkan Visi
By Moritza Thaher* | dari Sportasik.com Jum`at, 20 Juli 2012 14:05 WIB
Tiap dekade mewariskan aliran musik. Beberapa tahun terakhir boleh dibilang “dubstep” merupakan bintangnya. Dengan ciri suara wobble bass (berbunyi wob wob wob), drum dalam half time dan tempo rata-rata 140 bpm, dalam waktu tidak begitu lama genre dubstep melambung pamornya. Di tahun 2011 dubstep bisa menembus tangga lagu Billboard US Top 100, UK Top 40 dan berbagai tangga lagu lainnya. Lagu “Hold It Against Me” oleh Britney Spears salah satu contohnya, disusul beberapa artis lainnya yang memformat satu atau 2 lagu mereka kedalam dubstep, sebut saja Rihanna, Selena Gomez dan berbagai artis papan atas lainnya, tak mau ketinggalan, icon rap Jay Zee pun ikut melibatkan diri.
Dubstep berkembang berkat eksperimen dan kerja keras terus menerus oleh artis-artis dan DJ-DJ underground. Mereka berupaya memperkenalkan dan mewabahkannya, walaupun pada akhirnya yang membawanya ke puncak tren adalah artis dan produser yang berpengalaman. Salah satu artis dubstep yang paling terkenal adalah Skrillex. Dubstep masih tetap “in” hingga hari ini dan mulai menebar pesonanya di Indonesia.
Jauh sebelum dan hingga awal kemerdekaan Indonesia, lagu-lagu pun diciptakan mengikuti Tren yang sedang “in”. Pada masa itu mars, himne, waltz dan musik barat lainnya sedang digemari. Ismail Marzuki malahan memasukkan unsur jazz/blues yang terbilang baru pada lagu Juwita Malam.
Syair-syair lagu, selain bercerita perihal cinta kasih sejoli, banyak juga yang mengungkap rasa cinta pada tanah air (zaman sekarang lagu-lagu jenis ini digolongkan kedalam genre lagu wajib nasional). Hebatnya lagu-lagu cinta tanah air ini juga menjadi hits, tanpa ada rasa wajib untuk mendengarkan ataupun menyanyikannya. Pasti karena lagu-lagu tersebut terdengar indah, segar dan up to date, sesuai dengan zamannya.
Band Coklat pernah mencetak hits lewat lagu Merah Putih. Syair lagu ini sebenarnya masuk dalam kategori lagu wajib nasional, tapi kepopuleran lagu yang dikemas secara rock bisa menembus café-café dan sering dibawakan ulang oleh banyak band.
Ternyata syair “lagu wajib” tidak membuat lagu-lagu menjadi “tidak laku”. Dengan menggubahnya kedalam jenis musik yang sekarang sedang marak, aspek industri tetap terjaga tanpa harus meninggalkan visi.
Sebenarnya lagu-lagu Aceh terbitan baru, syairnya juga penuh visi, namun mengapa tidak bisa menjadi hits? Mungkin istilah “klise” bisa mewakili keadaan ini. Lagu Aceh terbaru terdengar seperti lagu lama, baik segi syairnya, melodi, maupun aransemen musiknya. Keengganan untuk menggali lebih dalam ketiga unsur tersebut membuatnya terdengar kurang bobot. Syair tak pernah lepas dari kata-kata: Nanggroe Aceh nyoe dilee that meugah…, ta jaga…, ta bila…, bek sampoe…, ban sigom donya…, keuneubah indatu…, Aceh lon sayang…,adat bak po…,lampoh jrat ta peugala…,
Tak ada yang salah dengan materi syairnya, hanya saja pemilihan kata terdengar klise, tidak orisinal. Kata-kata tersebut sering digunakan dalam hikayat, dalam syair-syair tarian dan parahnya, kata-kata tersebut juga sering dipakai pada lagu Aceh terdahulu. Frase melodi untuk vokal pun demikian, apalagi style musik yang dipakai terdengar seperti copy & paste saja.
Andai saja pencipta lagu, aranjer dan produser rekaman tidak segan-segan untuk memikirkan ide-ide baru – tak usah jauh-jauh – melahirkan sedikit hal-hal baru dari yang pernah ada (inovasi). Sudah barang tentu konsumen musik Aceh akan punya animo kembali untuk mendengarkan lagu-lagu Aceh seperti di era 2000-an yang lalu…
* Moritza Thaher, Pengajar di Sekolah Musik Moritza, Banda Aceh
Reblogged this on Gen-K Aceh.