In Memoriam Medri Mollusca (1969 – 2004)
Untuk Mengenang 9 Tahun Gempa dan Tsunami Aceh, redaksi Acehmusician.org akan mempersembahkan beberapa tulisan mengenai sahabat-sahabat kami, musisi Aceh yang hilang/tewas ketika tsunami mengamuk tanggal 26 Desember 2004. Ada puluhan nama yang mengisi sebuah daftar parsial yang kami susun (baca: Daftar Musisi Aceh Korban Tsunami 2004), namun untuk bagian pertama tulisan ini kami akan menulis mengenai salah seorang drummer senior Banda Aceh yang bernama Medri Mollusca. Kami mencoba mengumpulkan sisa-sisa kenangan mengenai beliau dari penuturan beberapa rekan di grup facebook resmi Gabungan Musisi Aceh, dan disempurnakan dengan melakukan wawancara langsung.
Testimoni Yan Mollusca
Gitaris senior dan salah satu pentolan musik metal di Aceh, Sofyan alias Yan Mollusca menceritakan kisahnya bersama Medri, almarhum drummer Mollusca. Dimana dari awal bermusik hingga akhir hayat Medri, mereka tetap bermain bersama.
*
Nama aslinya Teuku Medri Darmansyah, dilahirkan pada tahun 1969 di Banda Aceh. Aku mulai mengenalnya ketika masuk SMA 2 Banda Aceh pada tahun 1985 dan ternyata kami sekelas. Kami berdua kemudian bergabung di dalam kelompok paduan suara SMA 2 dan ikut di berbagai acara, termasuk beberapa Festival Vokal Grup antar Sekolah. Vokal grup adalah ekstra kurikuler yang paling top di sekolah saat itu . Tentunya posisiku di grup ini adalah bermain gitar, dan Medri bermain bongo, atau yang lazim dikenal sebagai bam-bam. Kami pun menjadi sangat akrab seperti tidak bisa dipisahkan, baik di sekolah maupun di dalam pergaulan sehari-hari.
Ketika tamat SMA di tahun 1988, Medri berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala dan aku masuk Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Tgk Chik Pante Kulu. Walau tidak satu kampus, kami tetap bermain bersama. Dunia musik yang lebih luas mulai dirambah dengan bergabung di beberapa band projekan. Kali ini Medri memegang drum set, sesuatu yang segera menjadi keahliannya, yang dipelajarinya dengan sangat cepat.
Ajakan bermain musik yang lebih serius datang pada awal tahun 1989. Aku dan Medri bergabung dengan homeband Rumah Sakit Jiwa yang bernama Bina Jiwa Band (BJB). Disitu kami bertemu dengan Pinem (bass), Mas Caswo (keyboard), Dewi (vokal), Dedi (vokal), Didi Wah Ulee (vokal), dan Indra Baruna (vokal). Terkadang Adek Mourny (nantinya menjadi drummer Metazone) dan keyboardist Jazz top Aceh Mulyadi ikut bergabung di band ini.
BJB adalah band yang sangat padat jadwal manggungnya. Kami bisa bermain dua kali dalam seminggu. Selain event internal kantor, kami juga disewa untuk mengiringi berbagai festival yang ada di Banda Aceh. Di masa itu, kompetisi penyanyi atau festival vokal lebih sering diadakan dibandingkan festival band. Selain itu kami juga bermain di acara kawinan dan acara-acara lainnya. Di BJB inilah skill bermusik kami tertempa.
Pada awal tahun 1992, kami berdua keluar dari BJB dan membentuk band baru yang bernama Mollusca dengan mengajak bekas pemain BJB lainnya, Pinem (bass) dan Mulyadi (keyboard). Rocker Al bergabung di posisi vokal. Mollusca pada awalnya menjadi band Hard Rock dan suka membawakan lagu-lagu dari Whitesnake, Led Zeppelin, Slank dan lain-lain.
Mulyadi mendapat kontrak untuk bermain di sebuah perusahaan industri di kota Lhokseumawe dan pindah ke sana di pertengahan tahun ’92. Tanpa bang Mul, personil Mollusca yang lain akhirnya memutuskan untuk merubah aliran musik menjadi thrash metal, yang saat itu mulai naik daun. Mollusca mulai membawakan lagu-lagu dari band thrash seperti Metallica, Sepultura, Megadeth dan band asal Jerman, Kreator.
Mollusca kemudian menjuarai beberapa kompetisi band dan menjadi guest star di beberapa event lainnya. Yang paling membanggakan adalah ketika menjadi juara di Live on Stage 1994, yang merupakan untuk pertama kalinya band Thrash Metal bisa menjadi juara di event yang sangat bergengsi era 90-an itu.
Pada tahun 1995, Medri diterima menjadi pegawai negeri di Kanwil Departemen Pekerjaan Umum. Kesibukannya di kantor, terutama setelah menikah dengan Nasriah atau akrab dipanggil dengan Iah di tahun itu juga, menyebabkan Medri tidak bisa aktif memegang stick untuk Mollusca. Walaupun demikian Medri tetap lah seorang personil Mollusca. Dia selalu terlibat di berbagai event yang diikuti Mollusca. Dia menyokong semua kebutuhan band dari mengatur jadwal latihan, mengurus transportasi, komsumsi bahkan finansial, sesuatu yang memang selalu dilakukannya ketika masih aktif bersama Mollusca dahulu. Yang jelas, Mollusca tanpa Medri tidak akan jalan.
Kami kemudian memakai beberapa additional drummer, seperti Donny Arlian NST (ex-drummer Obstrude dan MR Pinokio), Dek Tam (Vankreas), dan Deddy Mulia (De Javu).
Walaupun Medri praktis tidak bermain bersama Mollusca, kami berdua tetap manggung bersama di beberapa project. Antara lain bermain sebagai band pengiring untuk Festival Vokalis Rock yang diadakan oleh PEPPA bersama Hillman Rizqan (keyboard) dan Ateng (bass) di tahun 2003, serta aktif di Komunitas MAESTRO pimpinan Moritza Thaher. Di Maestro, Medri memegang Rapa’i dan mengurus semua keperluan band. Bisa dibilang Medri adalah kepala rumah tangga komunitas ini.
Bersama MAESTRO, kami manggung pada tanggal 22 Desember 2004 di acara peringatan ulang tahun Kodam Iskandar Muda, dan bermain di Taman Budaya di dalam pembukaan MUSDA Dewan Kesenian Aceh (DKA) pada tanggal 25 Desember 2004. Setelah mentas, kami berdua dan beberapa teman-teman seperjuangan tetap tinggal di Taman Budaya untuk mengikuti jalannya musda.
**
Tidak dinyana, kebersamaan kami hingga 25 Desember malam yang dingin dan basah karena hujan lebat, adalah perjumpaan kami yang terakhir. Esoknya Tuhan memanggil Medri bersama puluhan ribu warga Banda Aceh lainnya. 26 Desember 2004 pagi adalah hari paling kelabu di dalam hidup kami. Gempa yang maha besar diikuti gelombang tsunami yang maha dasyat telah menelan Medri bersama kedua anaknya, Cut Sarah Maqhfirah dan Teuku Rinaldi. Iah istrinya selamat walaupun ikut disapu ombak di depan lorong rumah mereka di Gampong Pelanggahan.
Minggu 26 Desember 2004 telah membuat semua sendi lumpuh. Hari itu aku tidak berhasil mendapatkan informasi apapun mengenai Medri. Rumah kami di Kampung Keramat juga ikut diterjang air. Aku dan keluarga akhirnya mengungsi ke Medan. Informasi mengenai teman-teman dan keadaan Banda Aceh aku peroleh dari teman-teman yang ikut mengungsi ke Medan.
Di Medan aku kerap duduk bersama dengan pengungsi lainnya, Moritza dan Afrizal. Dari Momo aku mendapatkan informasi mengenai Medri. Momo rupanya sempat berjumpa dengan Iah di daerah Ulee Kareng beberapa hari setelah tsunami. Hatiku hancur mendengar kabar ini. Medri sahabat baikku telah tiada. Hari-hari kuhabiskan di Medan dengan kesedihan.
Kami sekeluarga akhirnya kembali ke Banda Aceh pada Februari 2005. Yang pertama kulakukan adalah mencari Iah. Dia kutemukan sedang mengungsi di tempat salah satu familinya, rumah keluarga Roy drummer Maggot di Ulee Kareng. Iah menceritakan kejadian di pagi hari yang merenggut semua buah hatinya.
Pagi itu, Medri sebenarnya sedang bersiap-siap ke rumahku dan menjemputku menuju Taman Budaya untuk mengikuti musda DKA hari kedua. Tapi Iah meminta Medri untuk membelikan nasi gurih dahulu untuk sarapan dia dan kedua anak mereka. Sebagai kepala keluarga yang baik, Medri menyanggupinya. Ketika Medri tiba di rumah dan menikmati sarapan pagi bersama-sama keluarga, tiba-tiba terjadi gempa yang sangat kuat. Mereka semua keluar rumah dan menunggu hingga gempa selesai.
Seperti kebanyakan warga Banda Aceh lainnya, Medri dan keluarga tidak menyadari atau mengetahui bahwa gempa bumi yang sangat kuat dan berlangsung lama (gempa tahun 2004 berdurasi ± 10 menit), bisa menimbulkan gelombang besar dari laut yang disebut juga dengan tsunami.
Tidak beberapa lama setelah gempa, terdengar teriakan orang-orang yang panik dan berlarian di jalanan. Mereka masih menunggu dan mencari tahu apa gerangan yang terjadi. Tapi semua sudah terlambat. Tidak lama setelah memutuskan untuk ikut lari, ombak tsunami pun datang di muka lorong rumah mereka di Pelanggahan.
Medri sedang menggendong Cut Sarah dan Iah membahu Naldi ketika tsunami menggulung mereka sekeluarga. Naldi kemudian terlepas dari pelukan Iah, dan dia melihat bagaimana Medri dan Sarah juga ditelan oleh ombak yang berwarna hitam pekat. Iah pun tidak sadarkan diri dan diseret air. Ketika tersadar, Iah rupanya sudah mendarat di Mesjid Kampung Mulia (belakang Taufik Methodist). Medri dan kedua anak mereka hilang dan tidak pernah ditemukan untuk selama-lamanya.
Kepalaku pusing dan pandanganku nanar seakan-akan mau pingsan ketika mendengar cerita ini. Aku jadi teringat percakapan kami di malam sebelumnya, 25 Desember 2004.
Seperti biasanya, setelah latihan atau manggung pasti dilanjutkan dengan minum kopi dan ngobrol-ngobrol. Tetapi malam itu setelah mentas dan mengikuti jalannya musda DKA, aku meminta pamit kepada Medri dan rekan-rekan lainnya untuk pulang lebih dahulu. Medri mengatakan “Jangan pulang dulu, habis acara kita bakar ikan,”
Aku menjawab “Gak apa-apa lah, kalian lanjut aja bakar ikannya, aku pulang dulu. Besok pagi jangan lupa jemput aku Med?”
“Oh beres Yan, besok pagi aku jemput.” kata Medri dengan tersenyum sebelum aku meninggalkan Taman Budaya.
Tidak ada keanehan, tidak ada tanda-tanda. Tapi itulah perbincangan kami yang terakhir. Sahabatku Medri, esoknya dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Kau tidak akan terlupakan, Med! Kami semua akan selalu merindukanmu. Semoga Allah SWT memberikanmu tempat yang terbaik di sisi-Nya.
***
Banyak memori yang tidak bisa terlupakan dari seorang Medri. Misalnya saja sebagai drummer thrash metal, Medri tidak bermain double bass. Tidak tersedianya peralatan musik seperti double pedal/twin pedal di masa itu membuat Medri melatih kakinya untuk bermain double bass dengan hanya satu pedal saja. Untung saja, sebagai pemain sepak bola yang aktif, dia memiliki otot kaki dan paha yang sangat kuat. Semua lagu dimainkan hanya dengan satu pedal!
Sebagai drummer thrash metal, Medri ternyata tidak terpengaruh nama-nama besar seperti Lars Ulrich, Igor Cavalera atau Dave Lombardo. Malah Murry, drummer Koes Ploes adalah idolanya dari kecil. Medri banyak menghabiskan waktu menghapal dan mempelajari permainan Murry, bahkan drum fill-in khas Murry sering digunakannya di lagu-lagu Mollusca, seperti fill-in (istilah dia Ropel) 1/16 bergantian dua kali snare, dua kali tom 1, dua kali tom 2 dan diakhiri di floor tom. Fill-in semacam ini diterapkan di lagu thrash metal memang terasa lucu dan unik. Tetapi kami semua menyukainya dan malah menjadi ciri khas musik kami.
Mollusca sangat jarang berlatih di studio. Kami lebih sering latihan ala “kopongan” di rumahku, rumah Medri atau pun di Simpang Pinem. Biasanya aku dan Pinem, atau Taufik dan Herry Bogen (keduanya bassist pengganti Pinem yang bergabung dengan Odezza dan Metazone) menggunakan dua buah gitar Kapok dan Medri memukul … pahanya! Yang menjadi masalah adalah, ketika Al terlalu semangat bernyanyi dengan keras, tiba-tiba semua ikut menjadi keras, termasuk Medri. Akibatnya paha Medri menjadi merah-merah bahkan gembung air, dan bulu-bulunya jadi rontok! Yang menonton kami latihan pasti akan tertawa-tawa melihat Medri meringis kesakitan atau protes kalau Al mulai bernyanyi dengan keras.
****
Walaupun tidak mempunyai hubungan pertalian kekerabatan, namun bisa kukatakan hubungan pertemanan kami berdua sudah seperti saudara! Orang tua Medri sangat welcome kalau aku datang bermain ke rumah mereka. Demikian juga dengan orang tuaku terhadap Medri. Bagi mereka, kami adalah anak-anak kandungnya juga.
Kami saling mendukung satu sama lain. Ketika berpacaran dengan Iah, yang kebetulan adalah anak Imam Mesjid Pelanggahan, selalu aku yang diutus untuk mengantarkan hadiah ke rumah Iah. Atau kalau mau menelpon Iah, pasti aku yang disuruh menelpon. Pak Imam ternyata tidak suka kalau anaknya pacaran. Dan Medri yang sama-sama warga Pelanggahan terpaksa harus backstreet untuk berpacaran dengan Iah karena tidak berani menghadapi Pak Imam. Terbukti strategi ini berhasil dan hubungan mereka berlanjut hingga ke jenjang pernikahan.
Medri akan sangat marah apabila aku mempunyai masalah, tetapi tidak mengatakan kepadanya. Dia sangat peduli. Bahkan ketika masa-masa aku tidak bekerja, Medri selalu membantuku. Setidaknya setiap datang ke rumahku, dia selalu memberi salam tempel untuk anakku. Demikian juga ketika dia sedang “dibawah” atau sedang ada masalah, aku pasti akan datang membantunya. Sebuah kalimat sering dia lontarkan kalau aku ketahuan sedang ada masalah tapi tidak memberitahunya: “Lapor ama aku! Kalau gak kasih tahu aku nanti kutempeleng!”
Medri memang sahabat di dalam suka dan duka! Tanpanya, terasa sekali ada sesuatu yang hilang. Dia begitu berarti bagiku, bukan hanya di dalam hal bermusik, tetapi di semua hal. Semua tak lagi sama, tanpa Medri.
*****
Testimoni Emi Lili
Bekas drummer Pollutant, Emi Lili yang sekarang tinggal di Medan, menulis kepada Yan Mollusca:
“Masih terlintas di ingatan aku Yan, Medri orangnya gak banyak tingkah, gak ada neko-nekonya, Kalian emang Mollusca yang sebenarnya. Gak ada tingkah aneh di group kalian!”
Testimoni Teuku Mahfud
Drummer Teuku Mahfud, dan Ketua GMA menuturkan pengalamannya bersama Medri Mollusca:
Bang Medri itu punya power dan tempo yang sangat bagus. Tahun 90-an sound system yang dipakai di amphiteather Taman Budaya sangat sederhana dan kurang memadai. Yang paling menderita adalah drummer. Miking dan sistem yang kurang baik menyebabkan permainan drum akan tenggelam oleh instrumen yang lain. Hanya drummer yang mempunyai power cukup baik yang akan bisa mengatasi masalah ini. Bang Medri adalah salah satu yang berhasil “menjinakkan” problem ini. Keberhasilan Mollusca menjadi band terbaik Aceh tidak lepas dari pengaruh kontrol power dan dynamic yang hebat dari Bang Medri.
Dua minggu sebelum tsunami 2004, kami hampir tiap malam ngopi bareng selepas latihan bersama Maestro. Kami bermain di dua proyek: ulang tahun Kodam tanggal 22 Desember dan Musda DKA tanggal 25 Desember. Saya bermain drum dan Bang Medri bermain Rapa’i. Seperti biasa, dia sangat ramah dan senang bercanda. Dia tidak memperlakukan kami sebagai juniornya, bahkan kami diperlakukan layaknya teman sebaya.
Selain bermain, Bang Medri mengurus 40 orang di dalam rombongan Maestro dari A sampai Z tanpa mengeluh. Dari pakaian hingga makanan. Sosok mengabdi dan penuh dedikasi seperti ini patut menjadi inspirasi bagi semua musisi muda di Aceh.
Testimoni Roy Febri Andia
Drummer Maggots band, Roy menceritakan kenangannya di dalam bentuk sebuah dialog yang menceritakan peran Medri dalam membuka jalan bagi band Maggots.
Bang Medri: Roy kalian ikut Festival Rock Log Zhelebour ya?
Roy : Waduh bang kita ga berani ikut itu festival kan da jelas musik Rock.
Bang Medri : Pokoknya kalian harus ikut abg dukung kalian..
Roy : Tapi bang kami ga da uang bang (masih Pengangguran..hehehe)
Bang Medri : Masalah uang PP abang cari jalan, kalian uang makan aja cari.
Roy : Tapi bang musik kami Underground ni diterima gak ya?
Bang Medri : Diterima atau gak, Menang atau ga pokoknya kalian ikut tu festival
Roy : ok Siap bang, kami ikut tu Festival.
Sepenggal cerita dimana aku dan sang maestro ku memberi dukungan buat band Maggots, dimana kami semua penuh dengan keraguan dalam mengembangkan musik kami menuju pentas Nasional..wal hasil kami semua mendapatkan hasil yang tak terduga berkat dukungan abang tercinta kami alm. Bang Medri. Maggots akan selalu mengenang dan berterimakasih banyak atas jasa-jasamu bang Medri.
Semoga kebaikan beliau diterima disisi ALLAH SWT.. Amiinn
Testimoni Liza Cici Dayani
Saat frustrasi mikir bagaimana menggunakan duit yang sedikit untuk ngurus 40 orang, saat sibuk ngga punya waktu ngurus keperluan latihan, saat anak-anak telat datang, mood pada kacau ngga beraturan, abang satu ini akan tersenyum dan membujuk dgn santai. Meski tak terlalu dekat, kadang-kadang aku heran. Ngapain si Mahfud yang maen drum? Kok bukan bang Medri? Kok bang Sandy? Bukan bang Medri? Kok si Roy sama Deden maen rapa’i? Kok bang Medri maen rapa’i? After all… setelah tsunami, komunitas Maestro jadi tak sama lagi. Ngga ada yg kasih tatapan cemas lihat aku angkat kotak aqua gelas saat latihan di Taman Budaya. Thanks for sharing the story and testimony about him. I miss our old days @cibloe production depan kodam.
*****
Kenalkah kamu dengan Medri Mollusca? Tulis pengalaman kamu di kolom komen di bawah ini!
Didi saleh gitaris angie metal dari lhokseumawe.
Mollusca band yg sangat disegani saat itu, aku kenal bbrp personilnya.
Terutama yan, pinem dan medri.
Aku baru tau kalo medri (alm) sdh meninggal krn tsunami 2004. Kalo tdk salah, dia kakak kelas aku di SD NO 39 bna. Selamat jalan medri……
Pingback:Daftar Musisi Aceh Korban Tsunami 2004 - acehmusician.org
Kata kata terakhir dari om medri, jngn masuk pesantren, nanti rija nyesal. Hahaha. Trs sering d bawa jalan jalan, kayak.a modus om medri pacaran dulu. Hahha. Kngn canda.a. Om medri termasuk orng dewasa yg sangat ramah wkt itu.
Dia Sahabat Ku….Dia Saudara Ku….tidak akan pernah aku bisa membalas kebaikan mu pada ku…Sampai kapan pun aku bangga punya sahabat seperti dia…sampai kapan pun….
ia mun doa kita selal
mengenang 9 th tsunami untuk sahabat kita
smoga Allah mnempatkan teman kita Medri dtempat yg terindah…Amiin..
Mlm jumat km berdoa bersama utk korban tsunami aceh 2004…saat berdoa aku teringat akan alm. Medri dan teman2 lain yg jd korban tsunami…smoga mrk ditempat disisi Allah SWT…dan dierima smua amal ibadahnya…Amiiiiiin
Amin…… smoga berada di tempat yang mulia di sis Nya
kisah mu sedih kubacanya
rasanya masih spt ada medri bersama kita,,medri seniorku dalmn bermain drum,walaupu aliran kami beda,tp kami sering tukar pendapat,
ingat waktu LIVE ON STAGE 94 dimana kalian menjadi juara metazone juara dua dan kami poluttant juara ketiga,aku sempat ngobrol sam medri
med,,nanti aku pinjam stick mu,,ok katanya,
setelah nampil,,mi,,stick aku patah,,gx pp med jwb ku,,dan setelah kita menjadi juara 123 kita sam2 nongkrong di simpng polres,,disitu ingat kali aku,diwaktu kita sama2 membagi hasil juara,,,hahahaha,,tp keakraban kita masa itu sangat erat,aku ingin untuk mengulangi lagi walau tanpa medri,,namun dia tetap hadir dihati kita
Medri dirimu sahabat dan saudara bagi kami semua musisi di aceh