Profil Musisi: DZAKIROV ARB
Nama aslinya adalah Muzakir, atau sering dipanggil dengan nama Bang Zakir. Sehari-hari penampilannya tenang dan penuh wibawa, mengesankan pekerjaannya sebagai seorang kontraktor dari sebuah perusahaan minyak negara di sekitar daerah Aceh Tamiang, sangat jauh dari kesan seorang rocker, dunianya yang lain yang sempat membuatnya sangat terkenal di seantero jagad musik Aceh, bahkan nasional.
Namun, gaya yang cool itu akan lenyap ketika pria kelahiran 1960 ini naik ke atas panggung dan bermain bersama grup yang membesarkan namanya, ACEH ROCK BAND. Pria yang beken dengan nama Dzakirov ini akan terus bergerak menjejaki setiap inchi panggung dan berteriak membangkitkan semangat para penonton yang menyaksikan penampilannya. Dia memang seorang “Singa Panggung”, demikian kata semua orang yang mengenalnya.
Lahir dari keluarga yang berada dan disegani di daerah Aceh Tamiang, putra ke-enam dari Camat Kuala Simpang era 60-an dan 70-an, Tengku Ismail Thalib dengan Ibunda Fatimah Zuhra ini sudah mengenal musik sejak usia yang sangat muda. Selain dari musik yang selalu diputar di rumahnya, dia acap hadir menonton salah seorang abangnya berlatih dan manggung bersama bandnya. Abangnya M Nasir adalah gitaris dan vokalis band yang dibentuk dari kelompok pemuda yang terkenal di Kuala Simpang, GELANTER.
Bersekolah di SDN No 2 Kuala Simpang dari tahun 1967 hingga 1973, kemudian lanjut ke SMP Pertamina Rantau telah memberi semangat baginya untuk bermusik. Ketika memasuki SMA Negeri Kuala Simpang pada tahun 1976, Zakir muda memutuskan untuk menyalurkan hasrat bermain musiknya bersama GELANTER sebagai gitaris/vokalis. Sebuah lakon yang dijalaninya dengan intens hingga tamat sekolah.
Kepada acehmusician.org Dzakirov bercerita di saat itu era 70-an hampir tidak ada show musik di Kuala Simpang kecuali acara kawinan. Di sana hanya ada beberapa band yang eksis kala itu: Viking, Tembers, Degil, Gelanter dan lain-lain. Mereka umumnya latihan kopongan atau menyewa studio satu-satunya yang buka saat itu: ASTANA RIA. Sebelumnya ada studio lain milik kelompok Surya Irama. Tentunya fasilitas masih sangat sederhana, berbeda dengan kondisi studio yang ada sekarang di Kuala Simpang.
Sebuah tekad bulat untuk melanjutkan studi di bidang musik, ternyata direstui oleh sang Ayah dan Bunda tercinta, membuatnya hijrah ke Jakarta selepas SMA di tahun 1980. Ayahnya memang sangat mendukung Zakir bermusik, bahkan sampai berpesan: “Jadikanlah music sebagai media dakwah.”
Dia tinggal di rumah sepupunya, Yohan, seorang mahasiswa jurusan Komposisi Institut Kesenian Jakarta. Dari Yohan dia belajar biola dan ilmu musik sebagai bekalnya untuk masuk IKJ. Zakir resmi menjadi mahasiswa IKJ jurusan Biola pada tahun 1981. Selama kuliah, dia “disibukkan” dengan kegiatan luar kampus bermain musik bersama rekan-rekannya. Job bermain datang mengalir dari mana-mana, Zakir pun merambah banyak panggung di Jakarta. Bahkan dia sempat dikontrak bermain di kapal Tampomas II. Zakir mengisahkan band mereka sedang off dari kapal tersebut ketika kapal itu terbakar lalu tenggelam di tahun 1982. Sempat juga jadi homeband Hotel Horison bermain music country.
Karena terlau sibuk manggung, Zakir keluar dari IKJ pada semester kelima. Dia sempat kuliah di Perbanas pada tahun 1985, kemudian keluar lagi dan masuk Akademi Pariwisata. Dari hasil bermusik, dia dapat membiayai sendiri kuliahnya.
Walaupun berdomisili di Jakarta, Zakir tetap pulang setiap tahunnya ke Kuala Simpang menyambangi keluarga dan teman-temannya. Penampilannya yang gondrong khas musisi era itu sempat menjadi bahan pembicaraan di dalam keluarga besarnya. Dia kembali mendapat “perlindungan” dari sang Ayah yang selalu menjawab: “Biarkan saja, kalau udah muak, pasti dipotongnya sendiri.”
Yang Maha Kuasa memanggil sang Ayah tercinta untuk selama-lamanya pada tahun 1987. Zakir sangat berduka atas kehilangan ini. Atas desakan keluarga dia pun sepakat untuk pindah secara permanen ke Kuala Simpang pada tahun 1989 untuk mengelola beberapa usaha yang ditinggal oleh sang Ayah. Salah satunya adalah usaha penginapan yang kelak menjadi markas dan tempat kelahiran kembali band lamanya, GELANTER.
Pada tahun 1990, Zakir membentuk kembali Gelanter dengan formasi anyar Zakir (vocal), Tompel (vocal), Aslan Dirja (bass), Naman (gitar) dan Ipan (drum). Tak lama Aslan pun keluar dan Zakir menggantikannya bermain bass. Tompel yang masih pelajar menjadi vokalis utama band tersebut. Pasca keluarnya Aslan, Gelanter ganti aliran dan memainkan music thrash metal yang sedang naik daun di Aceh era itu. Gelanter termasuk salah satu pelopor music thrash metal di Aceh.
Sebuah ajang kompetisi band yang sangat bergengsi di Indonesia saat itu, Festival Rock se-Indonesia ke-6 persembahan promotor musik kakap Log Zhelebour hadir di Aceh. Band asal Kuala Simpang ROXI menjadi finalis kompetisi ini pada tahun 1991. Hampir seluruh musisi rock Aceh kini mempunyai keinginan yang sama untuk menjajal kompetisi band dua tahunan tersebut.
Ketika menghadapi seleksi Festival Rock se-Indonesia ke-7 untuk tahun 1993, Manager band ROXI saat itu A. Ramli Arabi menggagas untuk mendirikan sebuah band baru karena ROXI sedang vakum dan para personil dinilainya kurang focus. Pada akhir 1992, dia mendirikan ACEH ROCK BAND yang digawangi oleh Dzakirov (vocal, ex-GELANTER), Zul Morbid (bass, ex-Morbid), Udin (drum, ex-Roxi), dan Novindra (gitar, ex-Stroom V). Ternyata ARB sukses melewati seleksi dan tembus ke final di Yogyakarta tahun 1993.
ARB mendapat sambutan yang hangat dari penonton Yogyakarta dan berhasil menyabet Juara Favorit dan mendapat jatah rekaman satu lagu untuk album kompilasi 10 Finalis Festival Rock se-Indonesia ke-7. Lagu Manusia masuk dan merupakan satu-satunya lagu beraliran thrash metal di album tersebut.
Sepulang dari Yogya, Zakir dan ARB pun semakin terkenal, baik di Aceh maupun di Sumatera Utara. Namun suasana Kuala Simpang yang kurang kondusif karena konflik bersenjata di Aceh menyebabkan ARB pun vakum. Zakir kemudian aktif menjadankan usaha kontraktor dan menjadi rekanan bagi Pertamina, serta menikahi kekasih hatinya Nilawati alias Inong.
Perkawinan ini menghasilkan 4 putra-putri Dimitri Na Rizki (1994), Reza Maulana (1996), Aidil Isfa Azhanil (1999) dan putri satu-satunya Khofifah Zaniella (2000). Semua anaknya ternyata mewarisi bakat sang Ayah dalam bermusik. Kiki si sulung yang sekarang kuliah di Poltek Lhokseumawe bermain gitar, Reza menjadi seorang drummer. Sedangkan Aidil menjadi vokalis dan si bungsu Khofifah bermain biola. Betapa bangga Zakir dengan perkembangan anak-anaknya di dalam berkesenian, walaupun dia mengharapkan mereka tetap mengutamakan pendidikan dahulu.
Hasrat bermusik Zakir ternyata tidak pernah padam. Setelah sekian lama tidak aktif, akhirnya pada tahun 2003 ARB dibentuk kembali. Kali ini mereka bersatu dan merekam album pertama yang sudah lama dinanti-nanti. Studio 77 Medan milik musisi Safril menjadi tempat mereka berlabuh di tahun 2004. Setahun kemudian, album yang berisi lagu rock Aceh ini dirilis dan mendapat sambutan yang hangat dari para penggemar. ARB pun terus aktif hingga kini.
Sebagai musisi senior di Aceh Tamiang, Zakir mengikhlaskan dirinya menjadi tempat bertanya bagi musisi muda. Dia selalu mendukung semua kegiatan music yang diadakan di sana. Dedikasi ini yang kemudian membuatnya didapuk menjadi wakil ketua Dewan Kesenian Aceh Tamiang sejak 2013. Salut kita berikan kepada abang kita satu ini, baginya: music will never die!
Social Media: Zackirov
we love you…
hidup ARB…….