Legenda Musik Aceh: ANZIB LAMNYONG (1892 – 1976)

Anzib Lamnyong

“Saleum alaikom tengku baro troh
Tamong neu piyoh neuduek bak tika
Ranub Lampuan sinan ulon boh
Geunanto bungkoh bohru peut punca”

Jarang yang tidak mengenal penggalan syair di atas. Sepotong bait dari lagu yang digunakan untuk mengiring Tarian Ranub Lampuan ini memang sangat akrab bagi masyarakat Aceh, karena sering muncul di acara-acara penyambutan tamu yang ada di daerah ini. Atau juga kita sering mendengar syair tersebut dari kegiatan pendidikan kesenian di sekolah-sekolah.

Akrab dan familiar, tetapi jarang ada yang mengetahui siapa pencipta syair tersebut. Menurut ENSIKLOPEDI MUSIK DAN TARI DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH ( LANJUTAN ), terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan – Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya – Proyek Inventarisir dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986, lagu tersebut adalah karangan TEUKU DJOHAN dan ANZIB LAMNYONG. Diciptakan sekitar tahun 1960 untuk mengiringi sebuah tarian baru yang diciptakan oleh maestro tari YUSLIZAR yang berjudul Ranub Lampuan. Tari tersebut diciptakan karena Aceh pada saat itu tidak memiliki tarian yang khusus untuk menyambut tamu.

Tentu nama Teuku Djohan dan Anzib Lamnyong ini sering kita dengar juga bukan? Duo pemusik Aceh ini sering berkolaborasi menciptakan lagu-lagu yang “kini” dianggap sebagai “warisan endatu” Aceh, seperti Mars Iskandar Muda, Cut Nyak Dhien, Bungong Keumang, Teungku Tjhik Di Tiro, Teuku Oemar, dan lain-lain.

Pada kesempatan ini, redaksi Acehmusician.org akan menyajikan kisah mengenai Maestro musik Aceh dan juga sastrawan terkenal, ANZIB LAMNYONG dengan sumber utama adalah memoar beliau yang berjudul ANZIB LAMNYONG: GUDANG KARYA SASTRA ACEH karangan UU. Hamidy yang diterbitkan pada tahun 1974 oleh Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Aceh Darussalam, Banda Aceh. 

**

Nama asli Anzib Lamnyong adalah Abdul Aziz, dilahirkan di Silang kampung Rukoh (wilayah Darussalam)  Banda Aceh pada tahun 1892. Masa kecilnya dihabiskan untuk belajar mengaji dan bersekolah di Openbare Inlandsche School der tweede klasse (Sekolah Rakyat) dari 1906 hingga 1910. Dia melanjutkan mengaji kepada kepada Syekh Ibrahim bin Syekh Marhaban di Lamnyong, sagi XXVI mukim dari tahun 1916 hingga 1918. Syekh Ibrahim ini secara kebetulan adalah salah seorang nara sumber Snouck Hurgronje dalam studinya mengenai masyarakat Aceh.

Pada tahun 1912 dia menyelesaikan Sekolah Guru (Normal cursus) di Kutaraja dibawah asuhan Mohammad Djam (redaksi: ingat jalan Mohd. Jam di samping Mesjid Raya Baiturrahman) gelar Sutan Pamenan (kepala Gouvernemènt Inl. School Kuta Raja),  Sutan Perpatih, Nya’ Coet (putra Syekh Ibrahim) dan Abu Bakar. Sejak itu dia menjadi guru di beberapa Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar) di Aceh hingga pensiun di tahun 1957

Anzib Lamnyong mulai belajar musik dari tahun 1914 hingga 1916 ketika dia belajar viool (biola) dari musisi kawakan saat itu yang bernama Sang Syarif. Dua tahun kemudian dia sudah ikut bermain musik pada Muziekvereeniging Atjeh Band di Uleelheue. Grup musik itu dipimpin oleh kapelmeester (redaksi: band leader) ABC Theuvenet yang berasal dari Belanda. Muziek-vereeniging Aceh Band  bermain seminggu sekali di Socitett Juliana Club Koetaradja, serta acap diundang pada acara-acara kawinan. Kemudian lelaki berkulit gelap itu bermain di mana-mana dengan berbagai kelompok musik. Seperti pada tahun 1920-1922 dia tercatat sebagai vioolist di Deli Bioscop Kutaraja pimpinan Zainal Abidin (dari Minangkabau) bersama Soelaiman, Kandar dan lain-lain.

Kemudian dia bergabung dengan  Muziek-vereeniging De Endracht pimpinan Kamby (dari Menado).

Anzib sudah mencipta lagu-lagu Aceh sejak tahun 1916, di antaranya ada dari lagu-lagu ciptaannya itu direkam di  Singapura oleh His Master Voice yang waktu itu dinyanyikan oleh A Moeloek Karim.

Pada tahun 1922 hingga 1926 Anzib mendirikan grup Blaasmuziek yang dipimpinnya sendiri yang beranggotakan empat orang pemain trombone, dan dua pemain biola. Kedudukan kelompok ini di Lamnyong. Setelah grup ini, Anzib Lamnyong nyaris berhenti bermain musik dan fokus pada pekerjaannya mengajar.

***

Tahun 1951 bersama komponis Teuku Djohan, Anzib mengarang buku nyanyian anak-anak berjudul Lagu Kita yang diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta tahun 1952.

Setelah 25 tahun, pada tahun 1955 Anzib kembali bermain musik dengan menjadi violis orkes daerah Indahan Seulawah pimpinan D.A.Manua (bekas teleponis dari Menado) dan memainkan lagu-lagu daerah yang disiarkan melalui RRI Kutaraja. Lagu-lagu yang sempat populer waktu itu diantarnya Atjeh Loon Sayang, Nanggroe Atjeh, Bungong, Sulthan. Iskandar Muda, Gunongan, Prang Atjeh dan sebagainya yang merupakan karangan Anzib dan kawan-kawan. Dari catatan harian Anzib, menyebutkan banyak biduan yang tidak tetap, ada yang berhenti, ada yang pindah ke orkes lain, dan ada yang masuk kembali, sehingga sangat menyulitkan pelatihnya.

Sayangnya pada tahun 1959 grup ini harus bubar akibat perbedaan pendapat antara DA Manua dan Anzib. DA Manua menginginkan segi-segi hiburan lebih ditingkatkan dengan tidak semata-mata membawakan lagu-lagu daerah. Perselisihan itu terlukis dari beberapa catatan harian Anzib. “DA. Manua kurang mcngetahui bahwa di daerah Aceh juga mempunyai lagu-lagu sendiri yang khas,” tulis Anzib dalam catatan hariannya tahun 1961.

Anzib juga pernah mendirikan kelompok musik bernama HANA, bersama-sama dengan Sang Syarief, Mahmoed, A Raoef, M Hanmid, M.Joenoes, Sjahroeddin, Oesman Effendy, T. Djohan dan Syawal.

****

Sepanjang hayatnya, Anzib Lamnyong telah mengarang ratusan judul lagu yang digolongkannya sendiri ke dalam tiga kategori:

  1. Irama Dairah Atjeh (IDA), sejak 1916. (Hingga 1967 sudah berjumlah 245)
  2. Buhu Atjeh (BA), sejak 1950-an
  3. Irama Atjeh Baroe (IBA), sejak 1964 

Lagu ATJEH LON SAJANG atau secara umum dikenal sebagai Tanoh Lon Sayang adalah ciptaan Anzib Lamnyong yang diberi kode IDA-50-1955, yang berarti Irama Dairah Atjeh nomor 50, diciptakan tahun 1955.

Berbeda dari yang dipercaya oleh masyarakat pada umumnya, lagu ATJEH LON SAYANG ternyata adalah ciptaan Anzib sendiri, tidak bersama komponis Teuku Djohan (baca artikel Tanoh Lon Sayang VS Aceh Lon Sayang). 

Note: Teuku Djohan yang dimaksud adalah Maestro musik Aceh, bukan mantan Wakil Gubernur Aceh yang bernama sama, Jenderal Teuku Djohan.

*****

Selain mengarang lagu, Anzib Lamnjong adalah seorang penyair dan satrawan dan sudah menulis banyak buku sejak 1927 dan dianggap sebagai salah seorang penulis Aceh yang sangat produktif.

Anzib Lamnyong meninggal pada tahun 1976 di usia 84 tahun di Banda Aceh.

*****

Source:

  1.  UU. Hamidy, ANZIB LAMNYONG: GUDANG KARYA SASTRA ACEH, terbitan Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Aceh Darussalam, Banda Aceh, 1974.
  2. Drs. Abd. Hadjad, et al, ENSIKLOPEDI MUSIK DAN TARI DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH ( LANJUTAN ), terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan – Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya – Proyek Inventarisir dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986
  3. Anzib Lamnyong, IRAMA DAIRAH ATJEH, self-publishing, Banda Atjeh, 1966.
  4. Marhiyansyah, Fikar W. Eda, MASA TUA ANZIB ADALAH MESIN TIK HERMES BABY ATAU BIOLA, Harian SERAMBI INDONESIA, Minggu, 15 Juli 1990 halaman 6, re-blog Tambeh.wordpress.com. 

 

 

Facebook Comments

6 thoughts on “Legenda Musik Aceh: ANZIB LAMNYONG (1892 – 1976)

  • Pingback:Tanoh Lon Sayang VS Aceh Lon Sayang - acehmusician.org

  • May 12, 2014 at 4:44 am
    Permalink

    Waktu saya kecil kakek saya [D.A. Manua] sering menceritakan tentang Anzib Lamnyong. Mereka berdualah yang mengarang lagu Bungong Seulanga. Dengan biolanya setiap hari kakek memainkan lagu-lagu Aceh untuk kami cucu-cucunya, salah satu yang paling saya suka adalah lagu Cangguk Lake Ujeun. [Note: D.A. adalah singkatan dari Dornelis Authman].

    Reply
  • May 12, 2014 at 7:52 am
    Permalink

    Walaupun singkat namun tetap komprehensif, oya kalau ada referensi tolong tulis juga tentang musisi hebat lainnya: DA Manua dan Sang Syarif

    Reply
  • May 12, 2014 at 8:09 am
    Permalink

    Benar Yuzar, DA Manua dan Anzib tercatat sebagai pencipta lagu Bungong Seulanga, di buku lagu-lagu Aceh, terbitan proyek pengembangan kesenian DI Aceh tahun 1982

    Reply
  • May 12, 2014 at 8:50 am
    Permalink

    Moritza Thaher Walaupun kakek bukan orang Aceh [beliau orang Menado asli] tapi beliau sangat cinta dengan Aceh. Tidak ada satupun lagu karangan beliau yang berbahasa Indonesia, semuanya berbahasa Aceh.

    Reply

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.