Mengenal Alat Musik RAPAI
Redaksi acehmusician.org tergerak untuk menggali kembali khazanah musik tradisi Aceh, baik yang telah berumur ratusan tahun, maupun yang baru berusia puluhan tahun tetapi sudah dianggap sebagai sesuatu yang “khas Aceh”. Kami bertekad untuk memperkenalkannya kembali ke masyarakat dengan harapan bisa menyegarkan kembali memori mereka yang sudah pernah tahu atau kenal, dan atau bisa memberi informasi kepada mereka yang tidak familiar dengan khazanah musik tradisi Aceh, terutama para generasi muda dan masyarakat pencinta seni dari luar Aceh (baca: Menggali Khazanah Musik Aceh: Sebuah Kata Pengantar).
RAPAI adalah alat musik perkusi tradisional Aceh yang termasuk dalam keluarga frame drum, yang dimainkan dengan cara dipukul dengan tangan tanpa menggunakan stick. RAPAI sering digunakan pada upacara-upacara adat di Aceh seperti upacara perkawinan, sunat rasul, pasar malam, mengiringi tarian, hari peringatan, ulang tahun dan sebagainya, dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh baik secara filosofïs atau kultural. Rapai berperan mengatur tempo, ritmik, tingkahan, gemerincing serta membuat suasana menjadi lebih hidup dan meriah. Alat itu mendukung chorus (melodi) dari Serune Kalee atau buloh merindu (alat tiup berinterval nada diatonis).
Ada pameo yang sering terdengar berisikan “peunajoh timphan, piasan rapai” yang artinya makanan khas orang Aceh adalah timpan (sejenis kue dari bahan tepung beras di dalamnya berisi kelapa dan gula aren, atau berisi sarikaya/aso kaya telur, dibungkus dengan daun pisang muda dan dikukus), kemudian piasan rapai yang diartikan sebagai alat musik hiburan adalah rapai.
Berdasarkan naskah syair yang dinyanyikan bersama RAPAI, alat musik pukul ini berasal dari Syeh Abdul Kadir Jailani, ulama besar fiqih dari Persia yang hidup di Baghdad dari tahun 1077 hingga 1166 Masehi ( 470-560 Hijriah). Syair itu menyebut (dalam bahasa Indonesia):
Dilangit tinggi bintang bersinar
Cahaya bak lilin memancar kebumi
Asal rapai dari Syeh Abdul Kadir
Inilan yang sah penciptanya lahir kebumi.
Rapai dibawa oleh seorang penyiar Islam dari Baghdad bernama Syeh Rapi (ada yang menyebut Syeh Rifai) dan dimainkan untuk pertama kali di Ibukota Kerajaan Aceh, Banda Khalifak (sekarang Gampong Pandee, Banda Aceh) sekitar abad ke-11.
Rapai dimainkan secara ensemble yang terdiri dari 8 sampai 12 orang pemain yang disebut awak rapai dan disandingkan dengan instrumen lain seperti serune kalee atau buloh merindu. Permainan dari ensemble Rapai tersebut dapat menjangkau pendengaran dari jarak jauh akibat gema yang dipantulkannya dan tidak memerlukan microphone untuk setiap penampilannya bahkan pada malam hari di daerah pedesaan bisa mencapai pendengaran dari jarak 5-10 km.
Macam-macam jenis RAPAI:
1. Rapai Daboih
2. Rapai Gerimpheng
3. Rapai Pulot
4. Rapai Pase
5. Rapai Anak/tingkah
6. Rapai Kisah/hajat
Daboih (dari bahasa Arab Dabbus), artinya sejenis permainan/pertunjukan ketangkasan yang mempertontonkan kesaktian seorang pemain yang kebal terhadap senjata dari besi runcing. Awak daboih dipimpin seorang khalifah yang memiliki ilmu kebal, ahli makrifat besi, sehingga badannya tak mempan tusukan benda tajam, dapat melilitkan rantai besi panas keieher, badan atau pinggang, menari dalam api (bloh lam apui) dan sebagainya. Rapai yang mengiringi permainan Daboih disebut RAPAI DABOIH.
Dalam pertunjukan Rapai Daboih ini, pada waktu “Saleum” (salam) Rapai dimainkan membentuk ritmik tempo lambat (andante) dengan kisah atau syair diucapkan penabuh dabus. Kemudian ketika masuk ke bagian syair “Wamole“, tempo Rapai berubah menjadi tempo sedang (moderato). Pada bacaan syair “Amanah guru,” pukulan rithmik menjadi agak cepat (allegro), dan pada syair “Nyo he rakan,” tempo rapai menjadi Allegreto
(cepat).
Rapai gerimpheng dilakukan secara duduk. Dimulai dengan memberi salam, lalu menjuruskan tangan kedepan, melenggokan badan kesamping kiri dan kanan secara serentak, kemudian peh (pukul) rapai untuk mengiringi ratoih (lagu).
Rapai pulot awalnya dimulai dengan ratoih (lagu) sebagai salam perkenalan, kemudian dilanjutkan dengan penampilan akrobatik dan keahlian membentuk lingkaran bersambungan antara sesama para pelakunya. Mereka melakukan gerakan-gerakan jungkiran meliuk-liukkan badan, membentuk permainan tali, dan kemahiran
senam.
Rapai pase (terdapat di Aceh Utara) dengan formasi pemukulnya 30 buah rapai , sedang 15 buah dan formasi kecil 10/12 buah. Selain ukuran rapai biasa (rapai daboih) ditambah lagi dengan ukuran rapai besar (rapai induk/pase) yang dimainkan harus digantung karena ukurannya yang besai dan sangat berat.
Para memukulnya pun harus berdiri, khusus membawakan rithmik saja, tanpa interval nada, dibawakan lagu/syair berbau keagamaan, nasehat, upacara gembira, adat-adat perayaan, sunat Rasul, maulid dan upacara lain secara Islam. Ada kalanya diadu (ditunangkan) antar group, dengan kriteria penilaian pada tingkahan, irama rapai, bunyi, dan membalas jawaban pantun lawan. Dahulu dimulai malam sampai pagi hari dengan busana adat Aceh.
Rapai anak/tingkah, merupakan rapai dengan ukuran sedikit lebih kecil, berfungsi mengadakan tingkahan, karena suaranya lebih nyaring dan mendenting, sehingga tekanan tanda accent/attack (clear beats) lebih jelas kedengarannya.
Rapai kisah/hajat, mengisahkan/menyanyikan sesuai dengan hajat/permintaan yang punya rumah sendiri, lalu syeh rapai bersama-sama dengan pemain lainnya berlagu mengisahkan/mensyairkan seraya diikuti irama tingkahan rapai.
ANATOMI RAPAI
Bentuk rapai bulat dan mirip tempayan dan berdinding rendah, mempunyai giring-giring (jingle) pada dindingnya dengan berbagai macam ukuran.
Frame body atau dalam bahasa Aceh disebut polah/bolah rapai dibuat dari bahan kayu nangka, kayu merbau atau kayu meudang/ara yang telah cukup tua. Bentuknya seperti tempayan atau panci dengan berbagai macam ukuran, diatasnya ditutupi/diberi kulit. Sedangkan bahagian bawah kosong, dengan pinggiran atau dinding yang dinamakan
buloh atau paloh. Rapai dahulu tidak dicat. Warna coklat tua yang muncul diakibatkan oleh bahan kayu yang digunakan sudah berumur cukup tua bahkan ratusan tahun telah keluar minyaknya. Sekarang susah mendapatkan rapai yang kayunya cukup tua, sehingga digunakanlah pelitur untuk menghias dinding Rapai.
Selaput atau membran dibuat dari kulit kambing atau kulit “himbe” (sejenis kera, tapi sekarang tidak digunakan lagi). Sedangkan untuk rapai ukuran besar seperti rapai pase, dibuat dari kulit sapi yang telah diolah/ditipiskan dan dilicinkan dengan buloh (bambu).
Rapai menggunakan rotan (awe) untuk mengencangkan atau meninggikan suara. Untuk menghasilkan suara gemerincing dan crisp, digunakanlah lempengan logam pada samping baloh seperti halnya jingle pada tamburin.
Hiasan hampir tidak ada, hanya berupa ukiran-ukiran streamline lurus melingkari bolah dan 2 atau 3 buah garis memanjang membuat beberapa tekuk-tekuk yang diperindah benda tersebut. Hiasan tersebut tidak memiliki makna secara simbolis.
Ukuran garis lurus dari bulatan rapai panjangnya antara ± 38—50 cm, tinggi paloh (dinding frame) ± 8—12 cm, lembar paloh dilihat dari posisi belakang ± 4 – 6 cm, dan untuk ukuran induk rapai pase garis tengah bulatan ± 1 meter atau lebih.
Cara Pembuatan
Sebuah gelondongan kayu yang besar diambil bahagian bawahnya yang dekat dengan akar, lalu direndam di dalam lumpur selama beberapa bulan untuk pengawetan, baru kemudian dikorek bahagian dalamnya seperti sebuah lubang bulatan besar yang menggeronggong dan kemudian tinggal membentuk pinggiran saja menurut ukuran yang diinginkan. Kayu yang digunakan adalah jenis kayu keras seperti merbau, meudang-ara, atau batang nangka, yang sekarang sudah sulit untuk didapatkan.
Pinggiran tadi merupakan kelawang atau body yang perlu dihaluskan serta diberi ukiran pahatan berupa tekuk-tekuk garis lurus. Ditengah pinggiran frame dipahat dan diberi lobang memanjang ± 6 cm, lebar ± 2 cm untuk penempatan 1 cm lempengan tembaga. Pada bahagian atas diberi kulit kambing yang telah diolah sedemikian rupa sehingga nalus, tipis dan kemudian disepit.
Tidak diketahui apakah pembuatannya itu mempunyai suatu standar konstruksi, dimana ukurannya seragam untuk setiap pembuatan, ataukah besok akan berubah ukuran baik bulatan, lebar atau tingginya.
Dari rapai-rapai yang masih dijumpai memang ternyata merupakan suatu ciptaan akal budaya yang mengandung nilai artistik. Baik jenis kayu yang dipergunakan, berat bendanya, tekuk garis ukirannya yang lurus membulat, keliling body serta pemasangan atau penempelan lempengan tambaga yang kukuh dan jarang yang lepas atau bengkok, serta bulatan kayu bodynya yang jarang retak atau pecah walaupun telah berusia lebih dari ratusan tahun.
Keadaan pengrajinnya sendiri mungkin saja masih ada yang hidup, walaupun sudah lanjut umurnya.
Cara Memainkan
Rapai dimainkan dalam posisi duduk melingkar atau duduk berbanjar. Tangan kiri memegang paloh atau palong (body) rapai, tangan kanan memukul kulit rapai dan bila dipukul ditengah-tengah membran akan menghasilkan suara dengungan atau gema yang besar, tetapi tidak tajam suaranya (low).
Bila dipukul pada pinggirnya akan mendapatkan suara tajam dan nyaring atau dapat disamakan dengan permainan drum yang dipukul dengan stick pada rimshot.
Karena rapai dibuat dari bahan kayu dengan kualitas baik, pasti akan berat serta kukuh buatannya. Bila ditegakan ketika bermain tanpa dibantu/dipegang oleh sebelah tangan, pasti tidak bisa dimainkan dengan sempurna.
Dalamsebuah permainan rapai, biasanya ada seorang syehnya (pemimpin), dibantu oleh beberapa awak/pemukul lainnya. Dalam memainkan sebuah irama lagu, biasanya beberapa buah rapai memukul dengan tempo konstan, sedangkan yang lain dengan tingkahan-tingkahan (syncopate) dan suara dinamik.
Suara phring dari lempengan tembaga yang gemerincing secara satu-satu atau beruntun, kadang-kadang dibarengi pula chorus secara ensemble atau sahut-sahutan mengulang (canon) yang gegap gempita. Sehingga memberikan warna yang betul-betul meriah pada suatu upacara pertunjukan yang diadakan.
Posisi rapai tatkala duduk, tetap dipegang dalam keadaan ditegakkan diatas ujung kaki, sedangkan pemainnya ikut bergoyang/bergerak bahkan kepala ikut pula terangguk-angguk, sesuai menurut irama yang dimainkan saat itu.
Pada umumnya suatu pertunjukkan biasanya diawali dengan tempo lambat (andante), kemudian sedang (moderate) selanjutnya cepat (allegro) dan pada klimaknya lebih cepat lagi (allegretto) dan tekanan (accent) biasanya jatuh pada tokoh terakhir setiap birama.
Untuk membuat suara rapai nyaring, maka pada bagian bawah pinggiran kulit, diselip suatu rotan yang bertumpang pada pinggiran body rapai tersebut dan bila selesai pertunjukkan rotan tersebut dicabut kembali, lalu disimpan.
Instrumen Sejenis
- Deyereh (doyra, dojra, dajre, doira, dajreja), dari Iran (Persia), Negara Balkan, Tajikistan, Uzbekistan dan Afghanistan.
- Daf, dari Timur Tengah, Kurdistan, Iran, Armenia, Afghanistan, Turkey, Tajikistan dan Azerbaijan.
- Bendir, dari Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya dan Mesir.
- Duff, daff, daffli, dari India
- Bodhrán, dari Irlandia
- Buben, dari Russia
- Rebana, dari Indonesia, Malaysia
- Mazhar, dari Mesir
- Kanjira, dari India Selatan
- Dll
Source:
- Drs. Abd. Hadjad, et al, PERALATAN HIBURAN DAN KESENIAN TRADISIONAL PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan – Pusat Penelitian Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya, 1993
- Drs. Abd. Hadjad, et al, ENSIKLOPEDI MUSIK DAN TARI DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH ( LANJUTAN ), terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan – Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya – Proyek Inventarisir dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986
- Wikipedia
- Sumber-sumber lainnya.
Mestinya jenis musik tradisional ini dibina dan diberikan kesempatan untuk membuat suatu pertukan tahunan seperti PKB di Bali. Dan kalau bisa dilakukan pada musim-musim liburan. Ini kan bisa jadi sumber pendapatan dari kegiatan wisata walaupun kecil dan akan dengan sendirinya pelestarian bisa terjadi. Dari Made Bali http://www.pakettourmurahsebali.com
Pingback:Mengenal Alat Musik ALEE TUNJANG « MUSIK.OR.ID